Konsep Kebijaksanaan Pilihan di Dalam Al-Qur`an
Al-Qur`an selalu menekankan konsep kebijaksanaan. Kualitas ini
dikhususkan untuk orang-orang beriman. Namun, manusia menggunakan
istilah-istilah bijaksana dan cerdik itu bertukar-balik. Oleh sebab itu,
perbedaan makna di antara kedua kata tersebut selalu membingungkan, dengan
anggapan, yang tentu saja keliru, bahwa orang cerdik dengan sendirinya
bijaksana. Bijaksana, bagaimanapun, adalah memahami bahwa Allah hanya meridhai
insan-insan beriman. Itu berarti memberdayakan manusia untuk menganalisis dan
memahami hal yang dikemukakan ini secara tepat agar mereka mengenal hukum alam
sebenarnya dan mencarikan solusi pemecahan masalah dengan setepat-tepatnya.
Berbeda dengan pengertian awam, bijaksana tak ada kaitannya dengan kepintaran
seseorang; bahkan itu merupakan hasil dari keteguhan keyakinan seseorang. Dalam
banyak ayat, Allah merujuk pada orang-orang tidak beriman sebagai "manusia tanpa
kebijaksanaan".
Kepintaran seseorang tampak dari reaksi seseorang saat menghadapi kejadian
tak terduga dan situasi runyam. Dibandingkan dengan reaksi dari mereka yang
tidak punya pemahaman mendalam tentang adanya Allah, dan karena itu disebut
tidak punya wisdom (kebijaksanaan), dengan mereka yang memiliki keyakinan kuat,
tampak perbedaan kadar kebijaksanaan masing masing kelompok itu. Bila dihadapkan
pada kejadian-kejadian mendadak, manusia beriman tetap bersikap moderat dan
menggunakan kebijakan mereka untuk mendapatkan pemecahan serta-merta dan tak
sia-sia, terlepas dari kerumitan situasi. Pendirian bijaksana semacam itu
merupakan hasil dari pemahaman mereka pada Al-Qur`an, yang Allah ungkapkan
sebagai satu "kriteria dari pertimbangan antara benar dan salah" dan hidup
mengikuti perintahnya.
Setiap orang dapat merancang beragam pola pemecahan masalah bila dihadapkan
pada situasi yang menghendaki kewaspadaan dan kebijakan. Dan, dengan begitu
mereka dapat mencegah kerugian. Namun, tidak ada solusi yang sepasti dan seabadi
daripada apa yang diberikan oleh Al-Qur`an, karena berasal dari Allah, yang Maha
Mengetahui. Orang beriman yang bertawakal pada Al-Qur`an dan telah dengan kokoh
menggenggam "semua petuah ayat-ayatnya," tentu mendapatkan beragam hasil yang
diharapkan dalam segala urusan mereka.
Dalam bab berikut, kita akan menyoroti berbagai hal tentang tindakan-tindakan
bijak arahan Al-Qur`an yang dirancang untuk membimbing orang-orang beriman.
Menganalisis Berbagai Tahapan Kemungkinan dalam
Perkembangan
Adanya kemampuan untuk memikirkan secara menyeluruh sebelum mengawali suatu
tugas, menaksir-naksir tahapan-tahapan kemungkinan menjelang pelaksanaannya,
memperhitungkan kemungkinan beragam situasi dan akibatnya yang dapat terjadi
merupakan tanda-tanda signifikan dari kebijaksanaan. Orang yang tidak bijaksana
gagal mempertimbangkan hal-hal terselubung ini dan abai mempertimbangkan
pro-kontra sebelum membuat keputusan atau mewujudkan suatu gagasan. Keteledoran
sering mendatangkan akibat yang tidak diharapkan dan tak terduga.
Metode Nabi Ibrahim a.s. dalam menyebarkan wahyu Allah kepada kaumnya dapat
dijadikan teladan uniknya kemampuan berpikir menakjubkan dari orang beriman.
Kaumnya, yang penyembah berhala batu pahatan, bersikeras pada kepercayaan sesat
mereka, memuja patung, meskipun tidak seutuhnya mereka yakin akan kebenarannya.
Sebab itu, Nabi Ibrahim a.s. memutuskan untuk menggunakan metode lain dan
menyiapkan satu rencana tahapan tindakan berkelanjutan.
Dalam rangka membuktikan kepada kaumnya, bahwa berhala-berhala itu sama
sekali tidak bermakna selain dari kepingan-kepingan batu belaka, beliau
memutuskan untuk menghancurkan berhala-berhala tersebut. Tapi sebelum rencana
dilaksanakan, dia telusuri metode bijaksana yang paling tepat, dengan lebih dulu
memastikan tidak ada seorang pun yang melihat perbuatannya. Metode itu tergambar
dalam ayat berikut,
"Dia (Ibrahim) berkata, 'Sesungguhnya, aku sakit.' Lalu
mereka berpaling darinya dengan membelakang." (ash-Shaaffat [37]: 89-90)
Sebagaimana diungkapkan dalam sejumlah ayat, segera setelah beliau sampaikan
bahwa dirinya sakit, orang-orang di sekelilingnya meninggalkan tempat itu dan
membiarkan dia sendirian bersama berhala-berhala itu. Kisah selanjutnya adalah
sebagai berikut.
"'Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya
terhadap berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya.' Maka Ibrahim membuat
berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari
patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya."
(al-Anbiyaa` [21]: 57-58)
Nabi Ibrahim a.s. menghancurkan semua berhala batu tersebut, kecuali yang
terbesar, yang jadi sosok pujaan kaumnya, karena mereka anggap memiliki kekuatan
besar. Tidak lama kemudian, kaumnya datang menghampiri Nabi Ibrahim dalam
keadaan marah,"Mereka bertanya, 'Kamukah yang melakukan pebuatan ini
terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?' Ibrahim menjawab, 'Sebenarnya patung
yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika
mereka dapat berbicara.' Maka mereka telah kembali kepada kesadaran mereka dan
lalu berkata, 'Sesungguhnya, kami sekalian adalah orang-orang yang menganiaya
(diri sendiri).'" (an-Anbiyaa` [21]: 62-64)
Dengan mencermati ayat-ayat bersangkutan secara menyeluruh, nyatalah bahwa
Nabi Ibrahim a.s. mewujudkan rencana beliau secara bertahap dengan sangat
bijaksana. Hasilnya, beliau mendapatkan apa yang dia kehendaki. Sesungguhnya,
kaumnya yang memuja berhala mulai menyadari bahwa patung satu-satunya yang
tersisa tidak punya kemampuan untuk menolong mereka. Patung besar ini, seperti
juga berhala yang lainnya yang sudah hancur berantakan, tak lebih dari kepingan
batu yang tak bisa melihat, mendengar, atau berbicara. Lebih penting lagi,
batu-batu itu tidak mampu melindungi diri mereka sendiri. Inilah pesan yang
sesungguhnya disampaikan Nabi Ibrahim a.s. kepada kaumnya: Jauhi penyembahan
batu dan sembahlah Allah, sang Maha Pencipta seluruh alam raya.
Nabi Ibrahim a.s. telah menganalisis kemungkinan-kemungkinan yang mungkin
timbul dan mendapatkan hasil yang diharapkan. Tamsil ini, bersama dengan banyak
contoh serupa yang terhampar di dalam Al-Qur`an, menandaskan bahwa
memperhitungkan situasi lingkungan serta sisi psikologis manusia agaknya cukup
efisien untuk mendapatkan hasil akhir yang dikehendaki. Orang-orang beriman yang
bijak lestari selalu memperhitungkan pelaksanaan satu tugas, tahap demi tahap,
dan dengan cermat mempertimbangkan faktor dan elemen yang bakal membawa hasil
jangka panjang. Sementara itu, tindakan-tindakan berlandaskan Al-Qur`an yang
mereka wujudkan, sebagaimana juga inisiatif yang mereka prakarsai untuk tujuan
baik, tidak akan membawa kerugian di kemudian hari.