... Boleh jadi kamu membenci sesuatu,
padahal ia amat baik bagimu,
dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu,
padahal ia amat buruk bagimu; Allah
mengetahui
sedang kamu tidak mengetahui.
(al-Baqarah: 216)
Oleh: Harun Yahya
Sebenarnya, melihat kebaikan dalam segala hal merupakan ungkapan yang biasa.
Dalam kehidupan kita sehari-hari, orang sering mengatakan, “Pasti ada kebaikan (hikmah)
di balik kejadian ini,” atau, “Ini merupakan berkah dari Allah.”
Biasanya,
banyak orang mengucapkan ungkapan-ungkapan tersebut tanpa memahami arti
sebenarnya atau semata-mata hanya mengikuti kebiasaan masyarakat yang tidak ada
maknanya. Kebanyakan mereka gagal memahami arti yang sebenarnya dari
ungkapan-ungkapan tersebut atau bagaimana pemahaman itu dipraktikkan dalam
kehidupan kita sehari-hari. Pada dasarnya, kebanyakan manusia tidak sadar bahwa
ungkapan-ungkapan tersebut tidak sekadar untuk diucapkan, tetapi mengandung
pengertian yang penting dalam kejadian sehari-hari.
Kenyataannya,
kemampuan melihat kebaikan dalam setiap kejadian, apa pun kondisinya—baik yang
menyenangkan maupun tidak—merupakan kualitas moral yang penting, yang timbul
dari keyakinan yang tulus akan Allah, dan pendekatan tentang kehidupan yang
disebabkan oleh keimanan. Pada akhirnya, pemahaman akan kebenaran ini menjadi
sangat penting dalam menuntun seseorang tidak hanya untuk mencapai keberkahan
hidup di dunia dan akhirat, tetapi juga juga untuk menemukan kedamaian dan
kebahagiaan yang tak akan berakhir.
Tanda
pemahaman yang benar akan arti iman adalah tidak adanya kekecewaan akan apa pun
yang terjadi dalam kehidupan ini. Sebaliknya, jika seseorang gagal melihat
kebaikan dalam setiap peristiwa yang terjadi dan terperangkap dalam ketakutan,
kekhawatiran, keputusasaan, kesedihan, dan sentimentalisme, ini menunjukkan
kurangnya kemurnian iman. Kebingungan ini harus segera dienyahkan dan
kesenangan yang berasal dari keyakinan yang teguh harus diterima sebagai bagian
hidup yang penting. Orang yang beriman mengetahui bahwa peristiwa yang pada
awalnya terlihat tidak menyenangkan, termasuk hal-hal yang disebabkan oleh
tindakannya yang salah, pada akhirnya akan bermanfaat baginya. Jika ia
menyebutnya sebagai “kemalangan”, “kesialan”, atau “seandainya”, ini hanyalah
untuk menarik pelajaran dari sebuah pengalaman. Dengan kata lain, orang yang
beriman mengetahui bahwa ada kebaikan dalam apa pun yang terjadi. Ia belajar
dari kesalahannya dan mencari cara untuk memperbaikinya. Bagaimanapun juga,
jika ia jatuh dalam kesalahan yang sama, ia ingat bahwa semuanya memiliki
maksud tertentu dan mudah saja memutuskan untuk lebih berhati-hati dalam
kesempatan mendatang. Bahkan jika hal yang sama terjadi puluhan kali lagi,
seorang muslim harus ingat bahwa pada akhirnya peristiwa tersebut adalah untuk
kebaikan dan menjadi hak Allah yang kekal. Kebenaran ini juga dinyatakan secara
panjang lebar oleh Nabi saw.,
“Aku mengagumi seorang mukmin karena selalu
ada kebaikan dalam setiap urusannya. Jika ia mendapatkan kesenangan, ia
bersyukur (kepada Allah) sehingga di dalamnya ada kebaikan. Jika ditimpa
musibah, ia berserah diri (dan menjalankannya dengan sabar) bahwa di dalamnya
ada kebaikan pula.” (HR Muslim)
Hanya
dalam kesadaran bahwa Allah menciptakan segalanya untuk tujuan yang baik
sajalah hati seseorang akan menemukan kedamaian. Adalah sebuah keberkahan yang
besar bagi orang-orang beriman bila ia memiliki pemahaman akan kenyataan ini.
Seseorang yang jauh dari Islam akan menderita dalam kesengsaraan yang
berkelanjutan. Ia terus-menerus hidup dalam ketakutan dan kekhawatiran. Di sisi
lain, orang beriman menyadari dan menghargai kenyataan bahwa ada tujuan-tujuan
Ilahiah di balik ciptaan dan kehendak Allah.
Karena
itu, adalah memalukan bagi orang beriman bila ia ragu-ragu dan ketakutan terus-menerus
karena selalu mengharapkan kebaikan dan kejahatan. Ketidaktahuan terhadap
kebenaran yang jelas dan sederhana, kekurangtelitian, dan kemalasan hanya akan
mengakibatkan kesengsaraan di dunia dan di akhirat. Kita harus ingat bahwa
takdir yang ditentukan Allah adalah benar-benar sempurna. Jika seseorang
menyadari adanya kebaikan dalam setiap hal, dia hanya akan menemukan karunia
dan maksud Ilahiah yang tersembunyi di dalam semua kejadian rumit yang saling
berhubungan. Walau ia mungkin memiliki banyak hal yang mesti diperhatikannya
setiap hari, seseorang yang memiliki iman yang kuat—yang dituntun oleh kearifan
dan hati nurani—tidak akan membiarkan dirinya dihasut oleh tipu muslihat setan.
Tak peduli bagaimanapun, kapan pun, atau di mana pun peristiwa itu terjadi, ia
tidak akan pernah lupa bahwa pasti ada kebaikan di baliknya. Walaupun ia
mungkin tidak segera menemukan kebaikan tersebut, apa yang benar-benar penting
baginya adalah agar ia menyadari adanya tujuan akhir dari Allah.
Berkaitan
dengan sifat terburu-buru manusia, mereka kadang-kadang tidak cukup sabar untuk
melihat kebaikan yang ada di dalam peristiwa yang menimpa mereka. Sebaliknya,
mereka menjadi lebih agresif dan nekat dalam mengejar sesuatu walaupun hal
tersebut sangat bertentangan dengan kepentingan yang lebih baik. Di dalam
Al-Qur`an, hal ini disebutkan,
“Dan manusia mendo’a
untuk kejahatan sebagaimana ia mendo’a untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat
tergesa-gesa.” (al-Israa`: 11)
Meski demikian, seorang hamba harus berusaha melihat kebaikan dan maksud Ilahiah dalam setiap kejadian yang disodorkan Allah di depan mereka, bukannya memaksa untuk diperbudak oleh apa yang menurutnya menyenangkan dan tidak sabar untuk mendapatkan hal itu.
Walau
seseorang berusaha untuk mendapatkan status finansial yang lebih baik,
perubahan itu mungkin tidak pernah terwujud. Tidaklah benar jika seseorang
menganggap suatu kondisi itu merugikan. Tentu saja seseorang boleh berdo’a
kepada Allah untuk mendapatkan kekayaan jika kekayaan itu digunakan di jalan
Allah. Bagaimanapun juga, ia harus mengetahui bahwa jika keinginannya itu tidak
dikabulkan Allah, itu disebabkan alasan tertentu. Mungkin saja bertambahnya
kekayaan sebelum matangnya kualitas spiritual seseorang dapat mengubahnya
menjadi orang yang gampang diperdaya oleh setan. Banyak alasan Ilahiah lainnya—di
antaranya tidak langsung disadari atau hanya akan terlihat di akhirat—dapat mendasari
terjadinya sebuah peristiwa. Seorang usahawan, misalnya, bisa saja tertinggal
sebuah pertemuan yang akan menjadi pijakan penting dalam kariernya. Akan tetapi,
jika saja pergi ke pertemuan itu, ia bisa tertimpa kecelakaan lalu lintas, atau
jika pertemuannya diadakan di kota lain, pesawat yang ditumpanginya bisa saja
jatuh.
Tak ada
seorang pun yang kebal terhadap segala peristiwa. Biasakanlah untuk melihat bahwa
pada akhirnya ada suatu kebaikan dalam sebuah peristiwa yang pada awalnya terlihat
merugikan. Meski demikian, seseorang perlu ingat bahwa ia tidak akan selalu
dapat mengetahui maksud sebuah peristiwa adalah sesuatu yang merugikan. Ini karena,
sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya, kita tidak selalu beruntung dapat
melihat sisi positif yang muncul. Mungkin juga Allah hanya akan menunjukkan
maksud keilahian-Nya di akhirat nanti. Karena alasan itulah, yang harus
dilakukan oleh orang yang ingin menyerahkannya pada takdir Allah dan memberikan
kepercayaannya kepada Allah adalah menerima setiap kejadian itu—apa pun namanya—dengan
keinginan untuk mencari tahu bahwa pastilah ada kebaikan di dalamnya dan
kemudian menerimanya dengan senang hati.
Harus
disebutkan juga bahwa melihat kebaikan dalam segala hal bukan berarti
mengabaikan kenyataan dari peristiwa-peristiwa tersebut dan berpura-pura bahwa
hal itu tidak pernah terjadi, atau mungkin menjadi sangat idealis. Sebaliknya,
orang beriman bertanggung jawab untuk mengambil tidakan yang tepat dan mencoba
semua cara yang dianggap perlu untuk memecahkan masalah. Kepasrahan orang yang
beriman tidak boleh dicampuradukkan dengan cara orang lain, yang karena
pemahaman yang tidak sempurna tentang hal ini, mereka tetap saja tidak acuh
terhadap apa pun yang terjadi di sekitar mereka dan optimis tetapi tidak realistis.
Mereka tidak bisa membuat keputusan yang rasional ataupun menjalankan keputusan
tersebut. Ini dikarenakan yang ada pada mereka adalah optimistis yang melenakan
dan kekanak-kanakan, bukan mencari pemecahan masalah. Sebagai contoh, ketika
seseorang didiagnosis menderita penyakit yang serius, keadaannya saat itu
mungkin paling parah sampai pada titik fatal yang diabaikannya selama masa
pengobatan. Contoh lainnya, jika seseorang tidak menyadari pentingnya
mengamankan harta bendanya, walau ia pernah mengalami pencurian, besar
kemungkinan akan menjadi korban lagi dari kejadian serupa itu.
Pastilah
cara-cara tersebut jauh dari sikap menaruh kepercayaan kepada Allah dan dari “melihat
kebaikan dalam segala hal”. Pada hakikatnya, sikap tersebut berarti ceroboh.
Kebalikannya, orang yang beriman harus berusaha mengendalikan situasi
sepenuhnya. Pada dasarnya, sikap yang menuntun diri mereka ini adalah suatu
bentuk “penghambaan”, karena ketika mereka terlibat dalam situasi tersebut,
pikiran mereka dikuasai oleh ingatan akan kenyataan bahwa Allahlah yang membuat
peristiwa itu terjadi.
Di
dalam Al-Qur`an, Allah menghubungkan kisah para nabi dan orang beriman sebagai
contoh bagi mereka yang sadar akan hal ini. Inilah yang harus diteladani oleh
seorang mukmin. Sebagai contoh, sikap yang merupakan respons Nabi Huud terhadap
kaumnya menunjukkan penyerahan total dan rasa percayanya yang kokoh kepada
Allah, walaupun ia mendapatkan perlakuan yang buruk.
“Kaum ‘Aad berkata, ‘Wahai
Huud, kamu tidak mendatangkan kepada kami suatu bukti yang nyata, dan kami sekali-kali
tidak akan meninggalkan sembahan-sembahan kami karena perkataanmu, dan kami
sekali-kali tidak akan memercayai kamu. Kami tidak mengatakan melainkan bahwa
sebagian sembahan kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu.’ Huud
menjawab, ‘Sesungguhnya, aku menjadikan Allah sebagai saksiku dan saksikanlah
olehmu sekalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu
persekutukan dari selain-Nya, sebab itu jalankanlah tipu dayamu semuanya
terhadapku dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku. Sesungguhnya, aku
bertawakal kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada suatu binatang melata pun
melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya, Tuhanku di atas
jalan yang lurus.’ Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku telah
menyampaikan kepadamu apa (amanat) yang aku diutus (untuk menyampaikan)nya
kepadamu. Dan Tuhanku akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain (dari) kamu;
dan kamu tidak dapat membuat mudharat kepada-Nya sedikit pun. Sesungguhnya, Tuhanku
adalah Maha Pemelihara segala sesuatu.” (Huud: 53-57)
Bagaimana
Orang Bodoh Melihat Sebuah Peristiwa
Secara
umum, manusia cenderung memisahkan peristiwa yang terjadi dalam istilah “baik”
dan “buruk”. Pemisahan tersebut sering bergantung pada kebiasaan atau tendensi
peristiwa itu sendiri. Reaksi mereka terhadap peristiwa tersebut berubah-ubah
tergantung pada kepelikan dan bentuk kejadian tersebut; bahkan apa yang
akhirnya akan mereka rasakan dan alami biasanya ditentukan oleh kebiasaan
sosial masyarakat.
Hampir
semua orang memiliki sisa-sisa mimpi masa kecil, bahkan dalam hidup mereka
selanjutnya, walaupun rencana-rencana ini tidak selalu terjadi sesuai dengan
apa yang diharapkan atau direncanakan. Kita selalu cenderung kepada
kejadian-kejadian yang tidak diharapkan dalam hidup. Peristiwa tersebut dapat
sekejap saja melemparkan hidup kita ke dalam kekacauan. Ketika seseorang
berniat untuk menjalankan hidupnya dengan normal, ia mungkin berhadapan dengan rangkaian
perubahan yang pada awalnya terlihat negatif. Seseorang yang sehat bisa dengan
tiba-tiba terserang penyakit yang fatal atau kehilangan kemampuan fisik karena
kecelakaan. Sekali lagi, seseorang yang kaya bisa saja kehilangan seluruh
kekayaannya dengan tiba-tiba.
Hidup
seperti menaiki roller-coaster. Reaksi orang berbeda-beda ketika
menaikinya. Jika kejadian yang muncul menyenangkan, reaksi mereka baik-baik
saja. Akan tetapi, ketika dihadapkan pada hal-hal yang tidak diharapkan, mereka
cenderung kecewa, bahkan marah. Kemarahan mereka itu bisa memuncak, bergantung pada
sejauh mana mereka berhubungan dengan peristiwa tersebut dan pencapaian mereka
dalam masalah ini. Kencenderungan ini biasa terjadi dalam masyarakat yang
tenggelam dalam kebodohan.
Ada juga
di antara mereka yang saat kecewa berkata, “Pasti ada kebaikan di dalamnya.”
Bagaimanapun juga, kalimat yang diucapkan tanpa memahami arti sebenarnya hanya
semata-mata kebiasaan masyarakat saja.
Masih
ada sebagian orang yang memiliki keinginan untuk memikirkan maksud Ilahiah
dalam setiap peristiwa, apakah yang mungkin terdapat dalam kejadian-kejadian
yang sepele. Akan tetapi, ketika mereka dihadapkan pada peristiwa yang lebih
besar, yang sangat mengganggu, tiba-tiba mereka melupakan niat tersebut.
Sebagai contoh, seseorang mungkin tidak akan tertekan saat mesin mobilnya rusak
tepat ketika ia harus berangkat ke kantor dan ia berusaha berprasangka baik terhadap
kejadian tersebut. Akan tetapi, jika keterlambatannya itu membuat bosnya marah
atau menjadi alasan hilangnya pekerjaan, ia lalu mencari-cari alasan untuk
mengeluh. Dia mungkin akan bersikap sama jika kehilangan perhiasan atau jam
mahal. Contoh-contoh ini menunjukkan kepada kita bahwa ada beberapa kejadian
kecil yang menyebabkan orang bereaksi dengan wajar atau mereka mau berbaik
sangka bahwa hal tersebut mengandung kebaikan. Akan tetapi, contoh-contoh
lainnya yang tidak biasa dapat membuatnya mencari pembenaran atas keangkuhan
dan kemarahan mereka.
Di sisi
lain, sebagian orang hanya menghibur diri dengan berpikir demikian tanpa
memiliki pegangan makna yang benar terhadap “melihat kebaikan dalam segala
hal”. Dengan sikap demikian, mereka percaya bahwa hal tersebut dapat menjadi
cara untuk menciptakan kenyamanan bagi mereka yang tengah tertimpa masalah.
Misalnya yang terjadi pada anggota keluarga yang bisnisnya tengah berantakan
atau seorang teman yang gagal dalam ujian. Bagaimanapun juga, jika kepentingan
merekalah yang dipertaruhkan dan mereka terlihat tak sedikit pun memikirkan
kebaikan apa yang ada di balik peristiwa tersebut, mereka telah berlaku bodoh.
Kegagalan
untuk melihat kebaikan dalam peristiwa yang dialami seseorang muncul dari
hilangnya keimanan seseorang. Kegagalannya untuk memahami bahwa Allahlah yang
menakdirkan setiap kejadian dalam kehidupan seseorang, bahwa hidup di dunia ini
tidak lain hanyalah ujian, inilah yang menghalangi dirinya untuk menyadari kebaikan
apa pun dalam setiap peristiwa yang terjadi padanya.
Dalam
bab berikut, kita akan menggali ide itu, yaitu memiliki keyakinan bahwa ada
kebaikan dalam apa pun yang terjadi pada kita dan faktor-faktor tersebut
penting sekali untuk kita lihat.
Bagaimana Melihat Kebaikan
dalam Segala Hal yang Terjadi
Menyadari bahwa Allahlah yang Telah Menakdirkan
Semua Hal dalam Setiap Detailnya
Kebanyakan
orang merasa senang saat segala sesuatu terjadi sesuai dengan keinginannya. Akan
tetapi, orang beriman tidak boleh cenderung kepada perasaan seperti itu. Di
dalam Al-Qur`an, Allah memberikan kabar gembira bahwa Dia telah menentukan
setiap peristiwa demi kebaikan hamba-Nya dan hal tersebut tidaklah menimbulkan
rasa sedih ataupun masalah bagi mereka yang benar-benar beriman.
Seseorang
yang menyadari kebenaran ini di dalam hatinya akan merasa senang terhadap apa
yang dihadapinya dan ia melihat karunia yang tersimpan di balik apa yang
terjadi.
Banyak
orang bahkan tidak ingin repot-repot berpikir bagaimana dan mengapa mereka ada
di dunia ini. Walaupun kata hati akan menuntun mereka untuk menyadari bahwa
keajaiban dunia dan penataannya yang sempurna ini memiliki pencipta, cinta yang
luar biasa banyaknya yang dirasakan di dunia ini, keengganan mereka untuk
melihat kebenaran, membawa mereka pada pengingkaran terhadap realitas
keberadaan Allah. Mereka mengabaikan fakta bahwa setiap kejadian dalam hidupnya
ditentukan sesuai dengan rencana dan tujuan tertentu; mereka malah menghubungkannya
dengan ide yang sungguh-sungguh salah, yakni hanya sebatas kebetulan atau
keberuntungan. Bagaimanapun juga, ini hanyalah sebuah pandangan yang
menghalangi seseorang untuk melihat kebaikan dalam peristiwa-peristiwa yang
terjadi dan kemudian menarik pelajaran dari peristiwa tersebut.
Ada
pula mereka yang sadar akan eksistensi Allah dan mengerti bahwa Dialah yang
telah menciptakan seluruh alam. Mereka mengakui fakta bahwa Allahlah yang
menurunkan hujan dan meninggikan matahari. Mereka menyadari bahwa tidak mungkin
ada zat lain yang melakukan semua itu. Saat terjadi peristiwa dalam jenak
kehidupan mereka—detail kecil yang membentuk bagian kesibukan sehari-hari—mereka
tidak dapat berpikir bahwa mereka terlepas dari Allah. Meskipun demikian,
Allahlah yang menakdirkan seorang pencuri memasuki rumah di malam hari, sebuah
rintangan yang menyebabkan seseorang terjatuh, sebuah lahan subur untuk
ditanami atau dibiarkan gersang, jual beli yang menguntungkan, bahkan panci
yang gosong sekalipun. Setiap peristiwa terjadi dengan kebijaksanaan-Nya yang
tak terbatas untuk menyelesaikan rencana-Nya yang agung. Sepercik lumpur yang
mengotori celana kita, bocornya ban mobil, jerawat yang muncul, penyakit, atau
kejadian yang tidak diharapkan lainnya. Semuanya terbentuk dalam kehidupan
seseorang sesuai dengan rencana tertentu.
Sejak
seseorang membuka matanya, tak ada satu pun yang dialaminya di dunia ini
terjadi dengan sendirinya dan terlepas dari Allah. Segala yang ada secara
keseluruhan diciptakan oleh Allah, satu-satunya zat yang memegang kendali alam
semesta. Ciptaan Allah bersifat sempurna, tanpa cacat, dan sarat dengan tujuan.
Ini adalah takdir yang diciptakan oleh Allah. Seseorang tidak boleh mengotak-ngotakkan
peristiwa yang terjadi dengan menamai kebaikan pada sebuah peristiwa dan
kejahatan pada peristiwa yang lain. Apa yang menjadi kewajiban seseorang adalah
menyadari dan menghargai kesempurnaan dalam setiap peristiwa. Kita harus
percaya bahwa ada kebaikan dalam setiap ketetapan-Nya serta tetap menyadari
kenyataan bahwa kebijaksanaan Allah yang tak terbatas ini telah direncanakan
untuk sebuah hasil akhir yang paling sempurna. Bahkan mereka yang percaya dan
mencari kebaikan dalam segala peristiwa yang menimpa mereka, baik di dunia ini
maupun akhirat nanti, mereka akan menjadi bagian dari kebaikan yang abadi.
Hampir
di setiap halaman Al-Qur`an, Allah meminta kita untuk memerhatikan hal
tersebut. Inilah sebabnya mengapa ketidakmampuan dalam mengingat bahwa
segalanya berjalan sesuai dengan takdir itu menjadi sebuah kegagalan yang
mengerikan bagi seorang mukmin. Takdir yang dituliskan oleh Allah begitu unik
dan dilewati oleh seseorang benar-benar sesuai dengan apa yang telah Allah
tetapkan. Orang awam menganggap kepercayaan akan takdir semata-mata hanya
merupakan cara untuk “menghibur diri” di saat tertimpa kemalangan. Sebaliknya,
seorang mukmin memiliki pemahaman yang benar akan takdir. Ia sepenuhnya
menganggap bahwa takdir adalah sebuah rencana Allah yang sempurna yang telah
dirancang khusus untuk dirinya.
Takdir
adalah rencana tanpa cacat yang dibuat untuk mempersiapkan seseorang untuk
sebuah kenikmatan surga. Takdir penuh dengan keberkahan dan maksud Ilahiah.
Setiap kesulitan yang dihadapi seorang mukmin di dunia ini akan menjadi sumber
kebahagiaan, kesenangan, dan kedamaian yang tak terbatas di kemudian hari. “Sesungguhnya,
setelah kesulitan itu ada kemudahan.” (al-Insyirah: 5) Ayat ini
menarik kita pada kenyataan bahwa di dalam takdir seseorang, kesabaran dan
semangat yang ditunjukkan oleh seorang mukmin, telah dituliskan sebelumnya
bersama-sama dengan balasannya masing-masing di akhirat.
Sekali
waktu mungkin terjadi dalam jenak kehidupan, seorang mukmin menjadi marah atau
khawatir akan terjadinya hal-hal tertentu. Penyebab utama dari kemarahan yang
ia rasakan adalah karena ia lupa bahwa semua itu merupakan bagian dari
takdirnya dan bahwa takdirnya itu telah diciptakan oleh Allah hanya untuk
dirinya sendiri. Walaupun demikian, ia akan merasa nyaman dan tenang ketika ia
diingatkan akan tujuan ciptaan Allah.
Karena
itulah, seorang mukmin harus belajar untuk terus mengingat bahwa segalanya
telah ditetapkan sebelumnya. Ia harus mengingatkan orang lain akan hal ini. Ia
harus bersabar saat menghadapi peristiwa-peristiwa yang Allah telah takdirkan
untuknya dengan memberikan rasa percayanya kepada Allah dalam jarak waktu yang
tak terbatas. Tak lupa, ia harus berusaha menemukan alasan-alasan di balik
semua peristiwa tersebut. Jika ia berusaha memahami alasan-alasan ini, dengan
seizin Allah, ia akhirnya akan berhasil. Bahkan walaupun ia tidak selalu
berhasil menemukan maksud di baliknya, ia masih tetap yakin bahwa ketika
sesuatu terjadi, pastilah semua itu demi kebaikan dan maksud tertentu.
Memahami
sepenuhnya bahwa setiap makhluk, hidup ataupun tidak, diciptakan dalam
kepatuhannya pada takdir.
Takdir
adalah pengetahuan sempurna Allah atas semua peristiwa di masa lalu dan masa
depan, laksana satu waktu saja. Ini menunjukkan kekuasaan mutlak Allah atas
semua makhluk dan semua peristiwa. Manusia bisa saja berhati-hati agar tidak
mengalami suatu peristiwa yang buruk, tetapi Allah mengetahui semua peristiwa
sebelum hal itu terjadi. Bagi Allah, masa lalu dan masa depan adalah satu.
Semua itu sama-sama berada dalam pengetahuan Allah karena Dialah yang
menciptakannya.
“Sesungguhnya, Kami
menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (al-Qamar: 49)
Ayat
tersebut menyatakan bahwa segala yang ada di dunia adalah bagian dari takdir.
Kebanyakan orang tidak sempat memikirkan takdir. Karena itu, mereka gagal
menyadari bahwa hanya kekuatan Allah yang tak terbataslah yang akan eksis di
balik keteraturan yang sempurna ini. Sebagian orang menganggap bahwa takdir
hanya berlaku pada manusia. Kenyataannya, semua yang ada di alam semesta, mulai
dari furnitur di rumah Anda sampai sebuah batu di jalan, rumput kering, buah,
atau selai di rak supermarket, semua itu adalah bagian dari takdir yang telah
ditetapkan sebelumnya oleh Allah. Takdir semua benda dan makhluk yang
diciptakan telah ditentukan dalam kebijaksanaan Allah yang tak terhingga.
Setiap
peristiwa yang dilihat seseorang, setiap suara yang didengarnya, merupakan
bagian hidup yang telah diciptakan untuknya sebagai sebuah kesatuan. Tak ada
bunga yang mekar dan layu dengan kebetulan. Tak ada manusia yang lahir dan mati
secara kebetulan. Tak ada manusia yang sakit tanpa sengaja dan tidaklah
penyakitnya itu bertambah tanpa ada yang mengendalikan. Dalam setiap kejadian,
peristiwa ini khusus ditakdirkan oleh Allah sejak saat pertama kita diciptakan.
Apa pun yang ada di muka bumi, di dalam lautan, atau jatuhnya sehelai daun,
semua terjadi dalam rangka memenuhi takdir. Sebagaimana dinyatakan,
“Dan pada sisi Allahlah
kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri,
dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun
yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun
dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan
tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (al-An’aam: 59)
Rasulullah
Muhammad saw. pun bersabda bahwa tindakan setiap orang telah ditakdirkan oleh
Allah,
“Allah Yang Mahaagung
dan Mahamulia telah menetapkan bagi setiap hamba di antara ciptaan-Nya empat
hal: kematiannya, tindakannya, tempat tinggal dan tempat ia berpindah, serta
makanannya.” (HR Tirmidzi)
Akan
tetapi, biasanya manusia tidak sadar akan kenyataan bahwa setiap detik waktu
mereka telah ditakdirkan oleh Allah. Sebagian mereka tidak pernah menyadari
bagaimana mereka diciptakan atau bagaimana mereka mendapatkan karunia yang
mereka nikmati. Sebagian lainnya menganggap bahwa semua itu hanyalah kebetulan
yang tak berarti, walaupun mereka mengetahui bahwa Allahlah yang menciptakan
kehidupan dan kematian. Di dalam Al-Qur`an, Allah menyatakan kepada kita bahwa
hal-hal kecil pun telah ditakdirkan oleh kebijaksanaan-Nya yang tak terbatas
dan semua itu berkaitan dengan tujuan-tujuan Ilahiah.
“Tiada suatu bencana pun
yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah
tertulis dalam kitab (Lauh Mahfudz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya, yang
demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (al-Hadiid: 22)
Setiap
manusia harus memahami kenyataan ini. Hal ini karena takdir bagi segala sesuatu
di alam semesta telah diketahui oleh Allah Yang Maha Mengetahui dan Mahabijaksana.
Karena itu, setiap hal kecil telah direncanakan oleh Allah dengan sempurna dan
memiliki tujuan-tujuan tertentu. Segalanya dibuat dengan teratur sebagaimana
dinyatakan oleh Nabi Muhammad saw.. Orang yang memiliki kesadaran penuh akan
kenyataan takdir akan mendapatkan manfaat—dengan perasaan gembiranya—akan setiap
jenak waktu dalam kehidupannya, yaitu saat-saat yang baik dan saat-saat yang terlihat
buruk. Alasan mengapa hamba-Nya berhasil menyadari hal itu adalah karena Allah
telah menciptakan takdir mereka tanpa cacat. Mereka akan mengetahui bahwa
menganggap sesuatu sebagai sebuah kemalangan adalah suatu kebodohan. Ini karena
sesuatu yang dianggap kemalangan itu memiliki maksud-maksud tertentu dari
Allah. Pemahaman yang mendalam tentang takdir membuat mereka mampu melihat keberkahan
yang terkandung dalam segala hal.
Menganggap
bahwa apa yang terjadi bukanlah karena Allah melainkan karena seseorang atau
sesuatu, berarti kita tidak mampu memahami takdir. Segala sesuatu yang kita
anggap seharusnya tidak terjadi demikian, pada hakikatnya merupakan “pelajaran
takdir”. Manusia harus sepenuh hati menanamkan dalam dirinya bahwa ada kebaikan
dan maksud-maksud Ilahiah dalam setiap kejadian. Orang cenderung menganggap
peristiwa yang tidak menyenangkan sebagai sebuah “kemalangan”. Bagaimanapun
juga, tetap ada kebaikan dan maksud-maksud tertentu dalam apa yang acapkali
dianggap sebagai sebuah “kemalangan”. Kejadian tersebut dianggap sebagai “kemalangan”
karena kita menilainya demikian. Pada kenyataannya, hal itu adalah sebuah
kemungkinan yang lebih baik karena ia adalah sesuatu yang telah ditetapkan
sebelumnya oleh Allah.
Jika
Allah telah menunjukkan kebaikan dan maksud sebuah kejadian yang merugikan,
atau sebuah kesulitan yang menekan dan membuat kita gusar, kita akan mengerti
betapa tidak berartinya kekecewaan kita. Dengan mengenali berkah dalam segala
hal, seorang mukmin akan merasakan kesenangan, bukan tekanan. Karena itulah,
kewajibannyalah untuk mencari dan mengidentifikasi kebaikan dan manfaat takdir
yang terjadi, yakni bahwa dalam peristiwa yang terjadi tersimpan maksud Allah.
Ia akan merasa senang dan menghargai manfaat mengetahui takdir.
Mengetahui bahwa Ada Keburukan dalam
Peristiwa yang Tampaknya Baik dan Ada Kebaikan dalam Peristiwa yang Tampaknya
Buruk
Dalam bab sebelum ini,
kita diyakinkan bahwa Allah Yang Mahabijaksana menciptakan setiap peristiwa
dalam rangka menyempurnakan sebuah rencana. Dalam hal ini, perlu dicatat bahwa
hanya Allahlah yang mengetahui peristiwa-peristiwa yang baik dan yang buruk.
Ini disebabkan kebijaksanaan Allah tidaklah terbatas, sedangkan pengetahuan
manusia terbatas. Manusia hanya bisa melihat tampilan luar suatu peristiwa dan
hanya mampu bersandar pada penglihatan yang terbatas dalam menilainya.
Informasi dan pemahaman mereka yang tidak mencukupi—dalam beberapa kasus—dapat membuat
mereka tidak menyukai sesuatu, padahal itu baik untuknya, dan mereka bisa saja
mencintai sesuatu, padahal itu merupakan sebuah keburukan. Untuk dapat melihat
kebaikan itu, seorang mukmin harus menyerahkan rasa percayanya kepada
kebijaksanaan Allah yang tak terbatas dan percaya bahwa ada kebaikan dalam
segala hal yang terjadi. Allah berfirman,
Di sinilah, Allah
mengatakan kepada kita bahwa suatu peristiwa yang dianggap baik oleh seseorang
dapat mengakibatkan kekecewaan, baik di dunia ini maupun di akhirat. Begitu
juga sesuatu yang ingin benar-benar dihindarkan—karena diyakini merugikan—mungkin
dapat menyebabkan kebahagiaan dan kedamaian baginya. Nilai hakiki peristiwa apa
pun adalah pengetahuan mutlak Allah. Segala hal, apakah rupa yang buruk ataukah
rupawan, ada sesuai kehendak Allah. Kita hanya menjalani apa yang Allah
inginkan untuk kita. Allah mengingatkan kita tentang hal ini,
Maka dari itu, apa pun
yang kita alami dalam kehidupan ini, apakah itu terlihat baik ataupun buruk,
semuanya adalah baik karena hal itu merupakan sesuatu yang telah ditetapkan
oleh Allah untuk kita. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, zat yang
menetapkan akibat suatu peristiwa bukanlah seorang manusia yang terbatas oleh
ruang dan waktu, melainkan Allah, Zat yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu,
Yang menciptakan manusia, juga ruang dan waktu. (Informasi selajutnya, silakan baca
buku Ketiadaan Waktu dan Realitas Takdir karya Harun Yahya)
Ayat di atas sudah
jelas. Di masa Nabi Muhammad saw., kaum muslimin menghadapi kesulitan dan ujian
penderitaan. Sebagaimana ditunjukkan di dalam ayat di atas, apa yang dijalani
oleh kaum muslimin adalah kehendak Allah. Semua itu terjadi untuk melihat
manakah orang-orang munafik yang mencoba menjatuhkan orang-orang yang beriman.
Demikianlah, pada akhirnya, semua itu menjadi kebaikan bagi kaum mukminin.
Kaum muslim yang mengetahui
pelajaran yang dinyatakan dalam ayat ini menganggap sebuah kesempatan di mana
keikhlasan, kesetiaan, dan keimanan mereka kepada Tuhannya adalah ujian. Mereka
tidak pernah lupa bahwa kesulitan atau keberkahan datang untuk menguji mereka.
Karena kemuliaan dan kepatuhan mereka kepada-Nya, Allah mengubah apa yang tampaknya
buruk menjadi hal-hal yang menguntungkan bagi hamba-Nya yang sejati.
Dalam halaman-halaman berikut, kita akan
membicarakan kesulitan yang mungkin dihadapi seorang mukmin dan ujian-ujian
khas dunia ini. Tujuannya untuk mengingatkan orang-orang beriman akan
keberkahan yang tersembunyi dan balasan yang diberikan secara berangsur-angsur
kepada mereka, baik di dunia maupun di akhirat.
Kebanyakan manusia
bertujuan menumpuk kekayaan sebanyak mungkin dalam hidupnya. Untuk tujuan ini,
mereka melakukan apa pun, bahkan dengan cara yang haram dan tidak sah.
Pandangan manusia manusia terhadap harta kepemilikan dijelaskan di dalam
Al-Qur`an sebagai cinta karena perhiasan hidup di dunia.
Dalam ayat lain, Allah
menunjuk sebagian orang dengan mengatakan, “Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” (al-Fajr: 20) Dari ayat tersebut, kita dapat memahami bahwa
orang yang bodoh sangat membutuhkan harta kekayaan karena ia adalah salah satu
ukuran status sosial yang paling utama yang nilainya tidak didasarkan oleh
agama. Dalam masyarakat yang kacau ini, orang memuja, menghormati, dan
menjunjung tinggi kekayaan. Dengan mencapai kekayaan tertentu, seseorang merasa
bahwa ia memegang kekuasaan yang besar. Karena itu, dalam hal ini, mencapai
kekayaan menjadi tujuan utamanya dalam hidup.
“Diwajibkan atas kamu
berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu
membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu
menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu
tidak mengetahui.” (al-Baqarah:
216)
“Jika Allah menimpakan
sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya
kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang
dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang
dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (Yunus: 107)
Bagi Orang Mukmin, Ada Kebaikan
dalam Segala Hal
Setiap
orang mengalami saat-saat sulit dalam kehidupannya. Kesulitan ini membuat
frustasi, stres, atau menjengkelkan kebanyakan orang yang hidupnya jauh dari
moralitas yang ditentukan dalam Al-Qur`an. Karena itu, mereka dengan mudah
merasa gelisah, tegang, dan marah. Karena mereka tidak memiliki keyakinan akan
kesempurnaan yang melekat pada takdir yang ditetapkan oleh Allah, mereka tidak
mencari keberkahan atau kebaikan yang ada di dalam peristiwa yang mereka alami.
Bahkan, karena mereka tidak memiliki keyakinan, setiap detik yang mereka
habiskan tampaknya menjadi berseberangan dengan apa yang mereka inginkan.
Dengan demikian, mereka menjalani sisa hidupnya dengan beban masalah dan
tekanan.
Seorang
mukmin mengetahui bahwa kesulitan-kesulitan diberikan Allah untuk menguji
manusia. Mereka tahu bahwa kesulitan tersebut dibuat untuk membedakan antara mereka
yang benar-benar beriman dan mereka yang memiliki penyakit di hatinya, yaitu
mereka yang tidak tulus dalam meyakini keimanan mereka. Di dalam Al-Qur`an,
Allah menjelaskan bahwa Dia akan menguji seorang mukmin untuk melihat siapakah
yang benar-benar dalam keimanannya.
“Apakah kamu mengira
bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang
berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar.” (Ali Imran: 142)
“Allah sekali-kali tidak
akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini,
sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik
(mukmin)....”(al-Baqarah: 179)
Lebih lanjut, Allah memberikan contoh
kepada umat-Nya dengan mengambil setting di masa kenabian Rasulullah,
“Dan apa yang menimpa
kamu pada hari bertemunya dua pasukan, maka (kekalahan) itu adalah dengan izin
(takdir) Allah, dan agar Allah mengetahui siapa orang-orang yang beriman, dan
supaya Allah mengetahui siapa orang-orang yang munafik....” (Ali Imran: 166-167)
Allah Menguji Manusia dengan
Hilangnya Harta Benda
“Dijadikan indah pada
(pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia; dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali Imran: 14)
“Harta dan anak-anak
adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh
adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi
harapan.”
(al-Kahfi: 46)
Hasrat
menggebu akan harta kekayaan juga membawa manusia kepada ketakutan sepanjang
hidup akan hilangnya harta. Mereka yang memiliki pandangan demikian biasanya
menjadi putus asa saat kehilangan harta kekayaan, lalu mereka menjadi
pemberontak terhadap Tuhannya. Menjadi orang yang benar-benar bodoh itu
hanyalah sebuah ujian, mereka benar-benar kewalahan karena kehilangan kekayaan.
Bagaimanapun juga, Allah telah
memerintahkan manusia, “Jangan berdukacita terhadap apa yang luput dari
kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya
kepadamu.” (al-Hadiid: 23) Ia
memerintahkan manusia untuk hidup sederhana dan menyerap akhlaq-akhlaq yang
baik. Berputus asa atas hilangnya kekayaan dan bersukacita dalam kekayaan
adalah tanda tidak bersyukur kepada Allah.
Di
bawah pengaruh pandangan tersebut, sebagian masyarakat yang bodoh menganggap
boleh-boleh saja merasa kecewa akan hilangnya harta kekayaan. Sebagai contoh,
kenyamanan ekonomi yang dinikmati dari kekayaan yang didapat dari usaha keras
kita bisa saja lenyap dengan tiba-tiba karena bencana alam; atau, kebakaran
dapat menghancurkan sebuah rumah dalam sekejap mata saja, padahal rumah bagus
itu didapatkan setelah menabung bertahun-tahun. Pada dasarnya, seseorang yang
tidak menyadari fitrah hidupnya akan merasa kebingungan saat ia mengalami
kehilangan yang berarti. Ia menjadi lelah karena keputusasaan dan
pemberontakannya terhadap Allah.
Hal-hal
yang jauh dari akhlaq Al-Qur`an tidak akan berhasil selamanya, bahkan untuk
mengetahui bahwa hilangnya kekayaan bisa saja memiliki tujuan yang baik atau
berakibat positif. Hal ini karena pandangan dan ketidakmampuannya untuk memercayai
Allah menjadikan dirinya terbebani secara emosional akibat tekanan ekonomi
Bagaimanapun
juga, perubahan kondisi ekonomi ini dapat segera memberikan manfaat. Sebagai
contoh, mungkin ada baiknya kecelakaan terjadi pada mobil seseorang karena bisa
jadi Allah melindungi pengendaranya dari kecelakaan yang lebih fatal lagi.
Seorang yang hati-hati akan melihat kecelakaan tersebut sebagai peringatan,
kemudian ia memohon ampun serta menerima takdir yang telah ditetapkan Allah
untuknya.
Bisa Jadi Kamu Mencintai Sesuatu
walaupun Itu Buruk Bagimu
Seperti
yang telah dikatakan di bahasan awal, Allah menyatakan dalam surat al-Baqarah
ayat 216 bahwa keadaan tertentu yang bagi kita tampaknya buruk bisa saja menjadi
baik. Begitu pula, seperti yang ditunjukkan ayat tersebut, Allah pun menyatakan
bahwa apa yang dicintai seseorang adalah buruk baginya. Di dalam Al-Qur`an,
Allah memberikan contoh orang-orang kafir yang kaya, yang tidak ingin
menggunakan kekayaannya, karena menurut mereka lebih baik menghemat. Anggapan
mereka bahwa menimbun kekayaan dan tidak menggunakannya di jalan Allah bisa
memberi manfaat adalah benar-benar suatu kebodohan. Di dalam Al-Qur`an, Allah
menyatakan bahwa kekayaan seperti itu adalah buruk dan hanya akan membawa
kesengsaraan di neraka.
“Sekali-kali janganlah orang
yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya
menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu
adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan
kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allahlah segala warisan (yang
ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Ali Imran: 180)
Di
dalam surat al-Qashash, Allah mengisahkan tentang Qarun. Allah telah
melimpahkan keberuntungan yang besar kepada Qarun, tetapi ia menjadi sombong
karena kekayaannya yang terus bertambah. Ia mulai tidak berterima kasih kepada
Tuhannya. Kisah Qarun yang akhirnya dibinasakan Allah karena ia tetap tidak memerhatikan
peringatan-peringatan Allah ini adalah pelajaran yang baik untuk manusia. Kisah
ini disebutkan di dalam Al-Qur`an,
“Sesungguhnya, Qarun
adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami
telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya
sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika
kaumnya berkata kepadanya, ‘Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri.’ Dan carilah pada
apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah
(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya, Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Qarun berkata, ‘Sesungguhnya, aku
hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.’ Dan apakah ia tidak
mengetahui bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya
yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah
perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.” (al-Qashash: 76-78)
Dalam
ayat di atas, Qarun menganggap bahwa harta kekayaannya akan membawa kebaikan
bagi dirinya. Karena itu, ia bersukaria dan sombong. Pada akhirnya, ia
mengalami kekecewaan berat.
Sebaliknya,
orang-orang beriman menghargai harta kekayaan mereka. Ini sangat berbeda dengan
pemahaman Qarun yang cacat. Bagi mukmin yang taat kepada ajaran Al-Qur`an,
harta kekayaan tidaklah terlalu berarti. Seorang mukmin selalu menjadikan
dirinya mulia. Ia tidak akan pernah membiarkan dirinya memuja harta atau
menjadikannya sebagai tujuan dan ambisinya karena hal itu adalah perbuatan yang
bodoh. Seorang mukmin mengabdikan dirinya hanya demi keridhaan Allah dan ia
tidak pernah membiarkan dirinya diperbudak oleh nafsu dirinya yang rendah.
Cita-citanya adalah untuk menggapai balasan abadi di akhirat, bukan di dunia
ini. Allah membalas orang-orang yang beriman dengan derajat yang tinggi dalam
pandangan-Nya dan Ia menjanjikan surga untuknya.
“Sesungguhnya, Allah
telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan
surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah; lalu mereka membunuh atau
terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat,
Injil, dan Al-Qur`an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain)
daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan,
dan itulah kemenangan yang besar.” (at-Taubah:
111)
Menyadari
kenyataan ini, para nabi, rasul, dan mukmin sejati menganggap apa yang mereka
miliki sebagai sebuah berkah dari Tuhan mereka. Mereka menanamkan dalam hati
mereka bahwa semua yang mereka miliki adalah milik Allah. Karena itu, mereka
menggunakan segala milik mereka, termasuk kekayaan, karena Allah. Akhlaq mulia
dan kasih di antara kaum mukminin ini dijelaskan dalam ayat,
“... (Mereka yang
benar-benar beriman adalah mereka yang) memberikan harta yang dicintainya
kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan
pertolongan) dan orang yang meminta-minta....” (al-Baqarah: 177)
Lebih
jauh lagi, seorang mukmin tidak berbuat demikian untuk berpura-pura saja. Niat
ikhlas mereka dalam menggunakan kekayaan disebutkan dalam ayat,
“... orang-orang yang
membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa
mereka....” (al-Baqarah: 265)
Karena
itu, ketika mereka kehilangan sebagian harta kekayaan, reaksinya sangat berbeda
dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang yang bodoh. Pada dasarnya, mereka
tahu bahwa apa yang terjadi adalah ujian dari Allah. Mereka menunjukkan
kesabaran dan mencari kebaikan dalam apa yang ada di balik kehilangan itu.
Pandangan mulia orang-orang yang beriman disebutkan dalam ayat,
“Katakanlah, ‘Wahai Tuhan
Yang memiliki kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau
kehendaki dan engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau
muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau
kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya, Engkau Mahakuasa
atas segala sesuatu.” (Ali
Imran: 26)
Karena
itulah, orang-orang beriman tahu benar bahwa kekayaan yang dimuliakan oleh
orang-orang kafir di dunia ini hanya akan membawa kesengsaraan bagi mereka,
bukannya kebaikan. Ini adalah janji Allah.
“Maka janganlah harta
benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya, Allah menghendaki
dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam
kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam
keadaan kafir.” (at-Taubah: 55)
Kebijakan Ilahi di Balik Penyakit
Orang
yang tinggal di dalam masyarakat yang bodoh terus-menerus membuat rencana masa
depan dan berharap agar rencana-rencana itu berjalan sesuai keinginannya. Akan
tetapi, yang terjadi malah sebaliknya, penyakit yang tidak diharapkan datang
atau kecelakaan fatal melemparkan hidupnya ke dalam kehancuran karena
kejadian-kejadian tersebut tidak termasuk dalam rencana masa depannya. Saat
menikmati kesehatan, banyak orang tidak pernah berpikir bahwa kejadian
tersebut–walau sering terjadi pada ribuan orang lain setiap harinya-dapat
terjadi pada mereka juga.
Itulah sebabnya,
saat berhadapan dengan kejadian-kejadian yang tidak diharapkan, orang yang
bodoh dengan segera menjadi kurang bersyukur terhadap Pencipta mereka. Mereka
menolak kenyataan takdir seraya mengatakan, “Mengapa ini terjadi pada diriku?”
Orang yang jauh dari akhlaq Al-Qur`an cenderung enggan menyerahkan kepercayaan
kepada Allah saat mereka sakit atau tertimpa kecelakaan, atau mencari kebaikan
dalam peristiwa yang menimpa mereka.
Beberapa
orang yang tidak mengerti realitas takdir menganggap bahwa penyebab pernyakit
hanyalah virus atau mikroba. Demikian pula saat kecelakaan lalu lintas, mereka
menganggap supirnyalah yang menyebabkan kecelakaan tersebut. Bagaimanapun, yang
benar adalah sebaliknya. Setiap penyebab penyakit, seperti mikroba, bakteri,
ataupun yang membahayakan manusia, semua itu sebenarnya adalah makhluk yang
diciptakan oleh Allah untuk tujuan-tujuan tertentu. Tak ada satu pun dari
mereka yang dibuat secara serampangan. Mereka semua bertindak di bawah kendali
Allah. Manusia mudah diserang mikroba karena Allah menginginkannya demikian.
Jika seorang manusia menderita sakit keras karena virus, hal itu terjadi dengan
sepengetahuan Allah. Jika sebuah mobil menabrak seseorang dan membuat orang
tersebut cacat, kejadian ini juga merupakan peristiwa yang terjadi atas izin
Allah. Tak peduli dengan cara apa pun dia menghindar, dia tidak akan pernah
mengubah kejadian tersebut, bahkan bagian terkecilnya sekalipun. Ia tidak dapat
memindahkan bagian kecil takdir mereka karena takdir diciptakan dalam kesatuan.
Bagi seseorang yang menyerahkan dirinya kepada Allah Yang Mahakuasa dan mereka
yang percaya kepada kebijaksanaan dan kasih-Nya yang tak terbatas, kecelakaan,
penyakit, atau kesengsaraan, semuanya adalah cobaan sementara yang menuntun
kepada kebahagiaan tertinggi.
Dalam
situasi yang demikian, yang penting adalah kualitas moral yang baik yang
melekat dalam diri seseorang. Penyakit dan kecelakaan adalah peristiwa yang
bisa dijadikan kesempatan bagi orang-orang beriman untuk menunjukkan kesabaran
dan akhlaq yang baik. Mereka mendekatkan diri kepada Allah. Di dalam Al-Qur`an,
Allah berfirman tentang penyakit yang dihubungkan dengan pentingnya kesabaran
melalui saat-saat demikian.
“... sesungguhnya
kebajikan itu adalah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat,
kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada
kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan
pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba
sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati
janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya);
dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.” (al-Baqarah: 177)
Seperti
yang telah disebutkan di awal, kenyataan bahwa di dalam ayat ini, penyakit juga
termasuk dalam kesengsaraan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Seseorang yang dihadapkan pada dilema fisik atau tertimpa kecelakaan, ia harus
ingat bahwa semua itu adalah cobaan untuknya walaupun ia tidak dapat segera
menemukan alasan mengapa dirinya tertimpa musibah itu. Ia harus ingat bahwa
hanya Allahlah yang memberikan penyakit dan obatnya. Ini sangat penting untuk
memelihara sikap moral yang tepat. Mungkin ia harus melalui kesulitan sementara
sebagai seorang hamba yang memiliki kepasrahan penuh kepada Tuhannya. Di
akhirat nanti, ia akan dibalas dengan kebahagiaan yang abadi.
Kita
semua perlu mengingat bahwa bagaimanapun juga, penting bagi kita untuk
mengingat hal ini, juga untuk memelihara moralitas tertinggi saat berhadapan
dengan kejadian serupa. Hingga detik ini, kita perlu mengetahui bahwa semua
penyakit diciptakan dengan maksud-maksud tertentu. Jika Allah menghendaki,
seseorang bisa saja tidak akan pernah sakit atau menderita. Akan tetapi, jika
seseorang diberi ujian, ia harus sadar bahwa semua itu memiliki maksud. Semua
itu membantunya untuk memahami kesementaraan dunia ini dan kekuasaan Allah yang
luar biasa.
Penyakit Mengingatkan Manusia bahwa
Ia Lemah dan Membutuhkan Allah
Ketika
sakit, tubuh yang sebelumnya sehat dan kuat dikalahkan oleh virus dan bakteri.
Sebagaimana diketahui, banyak penyakit yang menyebabkan penderitaan dan
melemahkan tubuh. Dalam beberapa kasus, seseorang merasa telalu lemah untuk
bangkit dari tempat tidur atau melakukan tugas sehari-hari. Karena ia tidak
dapat membasmi virus yang tidak kelihatan itu, maka ia akan lebih mengerti akan
kelemahan dirinya dan bagaimana ia begitu membutuhkan Allah. Saat kesehatannya
menurun, seseorang yang sebelumnya berani menunjukkan kesombongannya kepada
Sang Pencipta, atau memamerkan kesehatan dan harta kekayaannya, menjadi sadar
akan kenyataan ini. Ia dapat lebih menghargai kekuatan Allah yang tak
terhingga, Pencipta segalanya.
- Penyakit Menjadikan Seseorang Lebih
Memahami bahwa Kesehatan adalah Berkah dan Kemurahan dari Allah
Hal
lain yang biasanya kita lupakan dalam kesibukan sehari-hari adalah betapa
besarnya karunia kesehatan. Seseorang yang diberi kesehatan terus-menerus dan
tidap pernah menderita, mudah saja mengatur keadaan. Akan tetapi, ketika ia
dihadapkan pada serangan penyakit yang tiba-tiba, ia menyadari bahwa kesehatan
merupakan berkah dari Allah. Hal itu disebabkan ia kehilangan sesuatu yang
membuatnya lebih menghargai nilai sesuatu yang hilang itu. Seperi yang
dikatakan Said Nursi-yang dikenal dengan nama Badiuzzaman (Keajaiban Zaman), “Orang
mengatakan bahwa sesuatu dikenali dari hal-hal yang berseberangan dengannya.
Sebagai contoh, jika tidak ada kegelapan, cahaya tidak akan dikenal dan tidak
menyenangkan sama sekali. Jika tidak ada rasa haus, tidak akan ada istimewanya
meminum air. Jika tidak ada penyakit, tidak ada kesenangan yang didapat dari
kesehatan.” (Cahaya ke-25, Obat ke-7)
- Penyakit yang Sering Menjadikan Seseorang
Benar-Benar Menyadari Kesementaraan Dunia Ini, Kematian, dan Akhirat
Kebanyakan
manusia mengira bahwa menderita penyakit yang fatal atau kehilangan organ tubuh
adalah sebuah kesengsaraan. Seharusnya, penyakit dapat dimaknai bukan sebagai
kesengsaraan, tetapi untuk kesalamatan di akhirat dan untuk mengarahkan dirinya
hanya kepada Allah. Hal ini karena orang yang terkena penyakit serius biasanya
semakin waspada. Penderitaan itu menolong dirinya untuk menyadari kurangnya
perhatian yang menumpulkan kesadaran dirinya dan mendorongnya untuk merenungi
realitas akhirat. Orang yang demikian benar-benar memahami betapa tidak
berartinya kecintaan akan dunia ini serta dekatnya kematian. Alih-alih hidup
dalam ketidakbertanggungjawaban, penyakit yang tiba-tiba membuatnya semakin
memahami betapa pentingnya mendapatkan keridhaan Allah dan kehidupan akhirat
demi mencapat keselamatan.
- Penyakit Diberikan untuk Do’a Seseorang dan
Menariknya untuk Dekat kepada Allah
Saat
gejala penyakit semakin parah, seseorang mulai memikirkan kematian. Pikiran ini
menghantuinya sampai ia berusaha menghindarinya dengan sengaja. Dengan segala
ketulusan, ia meminta kepada Allah untuk disembuhkan. Bahkan, saat menderita
sakit yang tidak dapat disembuhkan, seseorang yang belum pernah berdo’a
sebelumnya tiba-tiba merasa perlu memohon kepada Allah untuk disembuhkan. Ia
berdo’a dengan tulus ikhlas. Inilah sebabnya, seseorang bisa dekat dengan
Tuhannya ketika dirinya tidak berdaya. Jika ia menunjukkan rasa syukurnya setelah
sembuh dan terus berdo’a dengan ikhlas, penyakitnya itu menjadi kebaikan
buatnya dan menjadi awal keimanan dirinya.
Allah
menyebutkan orang-orang yang kembali kepada-Nya dari kesengsaraan dalam ayat
berikut.
“Dan apabila Kami
memberikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan diri; tetapi
apabila ia ditimpa malapetaka maka ia banyak berdo’a.” (Fushshilat: 51)
“Dan apabila manusia
ditimpa bahaya dia berdo’a kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk, atau
berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu darinya, di (kembali) melalui
(jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdo’a kepada Kami untuk
(menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang
melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan.” (Yunus: 12)
“Dan apabila manusia
disentuh oleh suatu bahaya, mereka menyeru Tuhannya dengan kembali bertobat
kepada-Nya, kemudian apabila Tuhan merasakan kepada mereka barang sedikit
rahmat dari-Nya, tiba-tiba sebagian dari mereka mempersekutukan Tuhannya.” (ar-Ruum:
33)
Sebagaimana
ayat di atas, manusia seharusnya tidak hanya berdo’a di saat sulit, tetapi ia harus
tetap berdo’a setelah ujiannya diangkat. Dengan demikian, penyakit keras atau
cobaan itu dapat membuatnya mengakui kelemahannya dan bertobat di hadapan Allah.
Dengan demikian, ia menuju penyerahan seluruh hidupnya kepada Allah.
- Sebagai Balasan atas Kesabaran yang
Ditunjukkan di Kala Sakit, Allah Membalasnya dengan Kehidupan Abadi di Dalam
Surga
Seperti
yang kami sebutkan sejak awal, maksud lain mengapa Allah memberikan penderitaan
dengan penyakit adalah untuk menguji kesabaran dan keimanan seseorang kepada
Allah. Saat menderita suatu penyakit, sikap seorang muslim jelas berbeda dengan
orang-orang bodoh. Ia memiliki kesabaran, keyakinan, dan kesetiaan kepada
Allah. Ini dikarenakan mereka sadar bahwa pandangan yang mereka yakini di saat
mereka dalam kesempitan adalah untuk mendapatkan keridhaan Allah. Itulah
balasan terbesar di akhirat atas penyakitnya. Ia mencapai berkah yang tak
terhingga atas kehidupan surga sebagai balasan kesengsaraan sementaranya di
dunia ini.
Nabi
Ibrahim yang ikhlas ketika dihadapkan dengan penyakit adalah contoh yang baik
untuk semua orang- beriman,
“Dan apabila aku sakit,
Dialah Yang menyembuhkan aku, dan Yang akan mematikan aku, kemudian akan
menghidupkan aku (kembali).” (asy-Syu’araa`:
80-81)
Sikap
dan akhlaq menakjubkan yang ditunjukkan oleh Nabi Ayyub a.s. adalah contoh yang
lain. Seperti yang telah Al-Qur`an katakan kepada kita, Nabi Ayyub a.s.
menderita penyakit yang parah, namun penyakitnya itu malah memperkuat kesetiaan
dan keyakinannya kepada Allah. Inilah sifat yang menjadikannya salah seorang
nabi yang dipuji di dalam Al-Quran.
Dari
Al-Qur`an, kita juga tahu bahwa sebagai tambahan penyakit yang dideritanya, Nabi
Ayyub a.s. juga mengalami tipu daya setan. Berpikir untuk menguasai Nabi Ayyub
di saat ia lemah, setan mencoba menghasutnya untuk tidak lagi percaya kepada
Allah. Hal ini karena dalam kondisi sakit parah, biasanya sulit bagi seseorang
untuk memusatkan perhatiannya. Dengan mudah, ia dapat terbujuk oleh setan. Akan
tetapi, sebagai seorang nabi yang mengabdi sepenuh hati kepada Allah, Nabi Ayyub
a.s. berhasil lolos dari perangkap setan. Ia shalat dan ikhlas berdo’a kepada
Allah, memohon pertolongan-Nya. Di dalam Al-Qur`an, do’a yang dicontohkan oleh Nabi
Ayyub adalah,
“Dan (ingatlah kisah)
Ayyub, ketika ia menyeru Tuhannya, ‘(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah
ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua
penyayang.’ Maka Kami pun memperkenankan seruannya itu, lalu kami lenyapkan
penyakit yang ada padanya....” (al-Anbiyaa`:
83-84)
Allah
menanggapi do’a tulus Nabi Ayyub dengan firman-Nya,
“Dan inagtlah akan hamba Kami Ayyub ketika
ia menyeru Tuhannya, ‘Sesungguhnya, aku diganggu setan dengan kepayahan dan
siksaan.’ (Allah berfirman), ‘Hantamkanlah kakimu;
inilah air sejuk untuk mandi dan untuk minum.’ Dan Kami anugerahi dia (dengan
mengumpulkan kembali) keluarganya dan (Kami tambahkan) kepada mereka sebanyak
mereka pula sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang
mempunyai pikiran. ‘Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah
dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah.’ Sesungguhnya, Kami dapati dia
(Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya, dia amat
taat (kepada Tuhannya).”
Nabi
Ayyub benar-benar mendapatkan balasan atas keyakinannya kepada Allah,
pengabdiannya kepada-Nya dan tingkatan kemuliaannya. Ia juga menjadi contoh
yang baik untuk bagi semua muslim.
Kesalahan Orang-orang Beriman Juga
Menjadi Kebaikan Bagi Mereka
Satu
masalah paling menakutkan yang didasarkan pada kebodohan bagi seseorang di dalam
masyarakat adalah berbuat kesalahan. Ketika seseorang berbuat kesalahan, ia
biasanya merasa malu dan menjadi objek olok-olok. Atau, suatu kesalahan
membuatnya kehilangan kesempatan-kesempatan tertentu yang dianggapnya penting.
Dari
sudut pandang Al-Qur`an, situasi seperti itu bagaimanapun juga harus disikapi
sebaliknya. Seorang mukmin tidak mendasarkan penilaiannya terhadap orang lain
dari kesalahan yang dibuatnya, untuk menyadari kenyataan bahwa manusia tidak
luput dari kesalahan. Ia malah merasa sayang terhadap orang itu.
Saat
seorang mukmin berbuat kesalahan, ia benar-benar memikirkannya dengan saksama
dan mempelajari kesalahannya; rasa takutnya kepada Allah segera
memperingatkannya, sehingga ia berusaha untuk memperbaiki kesalahannya. Ia berdo’a
kepada Allah Yang Maha Pengasih dan memohon ampun.
Kenyataannya,
rasa sesal seorang mukmin setelah ia berbuat kesalahan pada akhirnya hanya akan
menjadi kebaikan. Hal ini disebabkan ia bukanlah orang yang suka mengasihani
diri sendiri seperti orang-orang kafir, melainkan mencari solusi untuk tidak
mengulangi kesalahan yang sama. Kepatuhan yang ditunjukkan oleh seorang mukmin,
imannya kepada Allah, serta sikapnya yang menyadari bahwa semua peristiwa
adalah bagian dari takdirnya, semua itu merupakan faktor penting dalam pikiran
seorang mukmin. Sikap tersebut membawa dirinya dekat kepada Allah.
Setiap Diri Akan Merasakan Mati
Menurut
orang-orang yang bodoh, hal terburuk yang dapat terjadi pada seseorang adalah
mati. Itulah yang paling menakutkan bagi mereka, yaitu mendekati kematian atau
kehilangan seseorang yang mereka cintai. Bahkan, kematian adalah peristiwa yang
sedapat mungkin dihindari, meskipun orang yang bodoh dapat mengetahui kebaikan
dalam peristiwa tersebut. Baginya, kematian tak pernah menjadi hal yang baik.
Cara
pandang masyarakat yang tidak beriman terhadap kematian adalah sama. Mereka
tidak pernah dapat melihatnya dengan cara pandang yang berbeda. Kematian adalah
benar-benar kebinasaan, sedangkan akhirat hanyalah semata-mata spekulasi.
Bagi
orang-orang yang jauh dari kebenaran agama, kehidupan dunia ini adalah
satu-satunya kehidupan. Dengan kematian, satu-satunya kesempatan telah
berakhir. Inilah sebabnya, mereka menangisi hilangnya orang yang dicintainya.
Parahnya, kematian orang yang dicintainya secara tiba-tiba di usia yang sangat
muda, menjadi penyebab kemarahan mereka kepada Allah dan takdir.
Bagaimanapun
juga, orang-orang tersebut melupakan kenyataan-kenyataan penting. Pertama,
tak ada seorang pun di bumi ini yang mendapatkan semua yang diinginkan. Setiap
kehidupan seseorang adalah milik Allah; setiap orang lahir di waktu yang telah
ditakdirkan Allah sebelumnya dan sesuai kehendak Allah. Inilah sebabnya, Allah—yang
kepada-Nya kembali segala sesuatu di langit dan bumi dan apa yang ada di
antaranya—dapat mengambil kembali jiwa siapa pun yang diinginkannya, kapan pun
Dia menginginkannya. Tak ada seorang pun yang dapat menunda ketentuan Allah.
Hal ini dinyatakan di dalam Al-Qur`an,
“Sesuatu yang bernyawa
tidak akan mati kecuali dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah
ditentukan waktunya. Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan
kepadanya pahala dunia itu, dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami
berikan (pula) kepadanya pahala akhirat. Dan Kami akan memberi balasan kepada
orang-orang yang bersyukur.” (Ali Imran: 145)
Tak
peduli cara berhitung apa pun yang dipakai seseorang atau seaman apa pun tempat
tinggalnya, ia tidak dapat menghindari kematian. Sebagaimana dinyatakan dalam
salah satu sabda Nabi saw., “Jika Allah memutuskan bahwa seseorang akan mati
di sebuah tempat, Allah membuatnya pergi ke tempat itu.” (Tirmidzi)
Seseorang dapat pergi dari dunia ini kapan pun. Demikian pula orang yang
menghindari kematian, tak peduli betapa kerasnya ia berjuang untuk tidak
kehilangan orang yang dicintainya. Bahkan, jika segala daya upaya telah
dilakukan, ia tidak dapat menghindari kematian. Orang tersebut akan menghadapi
kematian di mana pun ia berada, sebagaimana disebutkan dalam ayat,
“Di mana saja kamu
berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang
tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memeroleh kebaikan, mereka mengatakan, ‘Ini
adalah dari sisi Allah,’ dan kalau mereka ditimpa suatu bencana mereka
mengatakan, ‘Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad).’ Katakanlah, ‘Semuanya
(datang) dari sisi Allah.’ Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik)
hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun?” (an-Nisaa`: 78)
Karena
itu, solusinya bukan berusaha untuk menghindari kematian, tetapi bagaimana
menyiapkan kehidupan untuk hari akhirat.
Kematian Adalah Awal, Bukan Akhir
Manusia
yang miskin iman atau mereka yang tidak punya keimanan sedikit pun tentang
akhirat, memiliki pandangan yang salah tentang kematian dan kehidupan setelah
itu. Inilah sebabnya, sebagaimana disebutkan di awal, mereka percaya bahwa saat
mereka kehilangan seseorang (karena kematian), mereka akan kehilangan untuk
selamanya. Karena itu, menurut mereka, orang itu menyatu dengan tanah untuk
sebuah kesia-siaan.
Sebaliknya,
sebagian di antara mereka yang yakin akan kebenaran akhirat boleh saja
menangisi kematian seseorang. Akan tetapi, Allah Mahaadil. Orang yang mati akan
diberikan tabungan amalannya di dunia dan berdasarkan keputusan-Nya orang
tersebut dibalas dengan kebaikan. Karena alasan itulah, bagi orang-orang yang
memiliki keyakinan kepada Allah dan hari akhir-dan karena itu hidup mengabdi
kepada Tuhannya-kematian adalah gerbang menuju kebahagiaan abadi. Akan tetapi,
dari sudut pandang orang yang bodoh, yang menafikan akhirat dan meremehkan hari
pembalasan, kematian adalah gerbang kesengsaraan abadi. Karena itu, sulit bagi
mereka untuk menilai kematian sebagai suatu kebaikan. Bagi seorang muslim,
kematian adalah awal dari sebuah kebebasan penuh.
Karena
kematian dianggap sebagai hal terburuk yang dapat terjadi pada siapa pun, namun
sebenarnya merupakan kebaikan bagi orang-orang beriman, maka reaksi mereka
terhadap kematian dibedakan dengan jelas dari akhlaq atau sikap bodohnya akan
hal itu. Sikap seorang mukmin terhadap kematian digambarkan dengan jelas dalam
ayat,
“Dan sungguh jika kamu
gugur di jalan Allah atau meninggal, tentulah ampunan Allah dan rahmat-Nya
lebih baik (bagimu) dari harta rampasan yang mereka kumpulkan.” (Ali Imran: 157)
Seperti
halnya kehidupan, kematian seorang mukmin juga membawa kebaikan. Dalam
pandangan Allah, tingkatan istimewa menanti seorang mukmin yang syahid saat
berjuang karena-Nya, karena kesyahidan adalah sebuah kemuliaan dan berkah yang
memperbanyak balasan yang akan didapatnya di akhirat. Kematian seorang mukmin
yang menjadikan satu-satunya tujuan hidupnya adalah menggapai ridha Allah dan
mendapatkan surga-Nya, adalah sebuah peristiwa yang agung. Dengan memahami
kabar gembira yang dicantumkan di dalam Al-Qur`an ini, seorang mukmin tidak
pernah menangisi kematian mukmin lainnya yang mati karena Allah. Sebaliknya, ia
melihat kebaikan dan berkah dalam kematian itu, dan mereka bergembira.
Sesungguhnya, balasan terbesar adalah mendapatkan keridhaan Allah dan
surga-Nya.
Seorang
mukmin yang menghabiskan waktunya untuk melayani Allah akan dibalas dengan
kebaikan. Contohnya Nabi Nuh a.s. yang diberi umur panjang oleh Allah. Karena
manusia mulia ini berjuang di setiap detik kehidupannya, ia mendapatkan
keridhaan Allah, kasih, dan surga-Nya. Usahanya dalam menambah balasan pahala
di akhirat.
Sebaliknya,
kaum yang kufur cenderung terjerumus ke dalam khayalan semu. Mereka mengira
umur panjang adalah anugerah. Ayat di bawah ini menjelaskan kekeliruan
tersebut.
“Dan janganlah
sekali-kali orang-orang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada
mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya, Kami memberi tangguh kepada
mereka supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang
menghinakan.” (Ali Imran: 178)
Mereka
yang menjadi bagian masyarakat bodoh yang menjadikan kesenangan sementara di
dunia ini satu-satunya tujuan hidupnya, menganggap umur yang panjang sebagai
kesempatan untuk menikmati kesenangan dunia. Karena itu, mereka melupakan Allah
dan hari pembalasan. Mereka tidak dapat menangkap nilai waktu yang mereka
habiskan sia-sia. Bagaimanapun juga, seperti yang disebutkan dalam ayat di
atas, waktu yang diberikan kepada mereka sebenarnya menghancurkan diri mereka
sendiri.
Seseorang
yang memikirkan hal ini akan memahami sepenuhnya bagaimana kita bisa menentukan
mana yang baik dan mana yang buruk, sesuai dengan pernyataan Allah, “Bisa
jadi seseorang membenci sesuatu, padahal itu baik untuknya, dan mungkin
seseorang mencintai sesuatu, padahal itu buruk untuknya.”
Alasan-Alasan yang Menghalangi
Seseorang untuk Melihat Kebaikan
Lupa bahwa Hidupnya Adalah Cobaan
Sebagian
orang mengira bahwa hidup mereka adalah suatu kebetulan semata. Sebenarnya,
tidaklah masuk akal untuk berpikir demikian. Segala sesuatu, termasuk menderita
kanker, tertimpa kecelakaan lalu lintas, mulai dari makanan yang dimakan
seseorang sampai kepada pakaian yang dipakai seseorang, semua itu adalah
hal-hal yang sebelumnya telah ditetapkan khusus atas seseorang. Seperti yang
telah kami tekankan berulang-ulang di sepanjang pembahasan buku ini, semua
peristiwa tersebut–dalam setiap detailnya-khusus diciptakan Allah untuk menguji
manusia.
Dalam hal
inilah terlihat perbedaan mendasar antara orang yang kafir dan beriman.
Orang-orang beriman memiliki pandangan yang sangat berbeda terhadap apa yang
terjadi pada mereka dan apa yang terjadi di sekeliling mereka. Pandangan ini
sepenuhnya seperti apa yang diperintahkan Al-Qur`an, yaitu menganggap setiap
kejadian sebagai bagian dari ujian. Karena itu, dengan menyadari bahwa mereka
sedang diuji, orang-orang mukmin berusaha untuk mengarahkan dirinya menuju
jalan yang diridhai-Nya.
Orang
yang tetap tidak acuh terhadap kebenaran Islam, ia membuat tujuan-tujuan sesat
bagi dirinya sendiri (masuk perguruan tinggi yang terkenal, menikah dan
berbahagia, memasukkan anak mereka ke sekolah, memperbaiki standar hidup,
mencapai status dalam masyarakat, dan lain-lain). Semua itu memiliki satu
kesamaan, yakni hanya berhubungan dengan dunia. Rencana dan aspirasi orang yang
menjadikan tujuan-tujuan seperti itu sebagai tujuan hidup utama, terbatas pada
pandangan yang dangkal ini. Hal ini karena pengetahuan kebanyakan orang hanya
terbatas pada eksistensi dunia. Sebenarnya, anggapan mereka tidaklah benar.
Bahkan, jika seseorang meraih semua tujuan yang telah ia rencanakan, hidupnya
berakhir pada titik yang tak dapat dielakkan: kematian. Maka dari itu,
kehidupan yang hanya tertuju pada dunia adalah kehidupan yang sia-sia, kecuali
sebaliknya seperti yang diinginkan oleh Allah.
Seseorang
yang menjalani hidup seperti ini bahkan tidak akan pernah mendapatkan segala
yang diinginkannya. Ini adalah hukum abadi Allah. Tak ada satu pun di bumi ini
yang lepas dari kehancuran. Tak ada satu pun di bumi ini yang lepas dari waktu.
Contohnya buah yang perlahan menghitam dan membusuk setelah dipetik dari
tangkainya. Sebuah rumah yang dibangun dengan sungguh-sungguh selama
bertahun-tahun pada akhirnya tidak akan dapat ditempati. Tubuh manusia dengan
mudah terkena pengaruh waktu yang merusak. Setiap orang terkena pengaruh waktu
pada fisiknya. Rambut yang memutih, tidak berfungsinya organ tubuh, berkerutnya
kulit, dan banyak tanda penuaan lainnya. Semua itu adalah tanda-tanda yang
mengindikasikan adanya kematian.
Selain
itu, kehidupan manusia yang jarang melampaui 6-7 dekade dapat diakhiri dengan
tiba-tiba. Peristiwa yang tidak diharapkan, seperti kecelakaan lalu lintas atau
penyakit fatal, dapat kapan saja mengakhiri kehidupan manusia. Seperti yang telah
kami sebutkan sebelumnya, tak peduli bagaimanapun seseorang akan berjuang
menghindari kematian, pada akhirnya ia akan menemui penghabisan yang tak dapat
dielakkan: kematian. Tak peduli apakah ia gadis yang cantik atau seorang yang
terkenal, tak ada satu pun orang yang dapat menghindarinya. Tidaklah kekayaan,
harta kepemilikan, anak, teman, atau apa pun, yang dapat melindungi seseorang
dari kematian.
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya,
kematian yang kamu lari darinya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui
kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib
dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.’” (al-Jumu’ah:
8)
Itu
berarti hidup di dunia ini adalah sementara dan dunia ini bukanlah tempat terakhir
manusia. Karena itu, seorang manusia harus mengorientasikan semua usaha dalam
hidupnya untuk akhirat saja.
“Maka sesuatu apa pun
yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada
pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan
hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakal.” (asy-Syuura: 36)
Jika
kita mengetahui bahwa hidup di dunia ini adalah sementara dan tubuh manusia
akan dimakan oleh kematian, kita dibawa pada satu hal yang mesti kita
renungkan, yaitu tujuan penciptaan manusia di bumi. Dalam ayat ini,
diberitahukan bahwa Allah membuat tujuan itu mudah,
“Yang menjadikan mati dan
hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.
Dan Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.” (al-Mulk: 2)
Dalam
banyak ayat di dalam Al-Qur`an, Allah memperjelas bahwa manusia diciptakan
untuk menjadi hamba-Nya. Ia juga menekankan bahwa kehidupan dunia ini adalah
ujian dan telah dibuat untuk membedakan kebaikan dari kejahatan.
“Sesungguhnya, Kami telah
menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji
mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.” (al-Kahfi: 7)
Karena
seluruh hidup manusia adalah bagian dari ujian, tak ada satu pun kejadian yang
menimpanya yang merupakan ketidaksengajaan. Jika seseorang tidak dapat memahami
bahwa ada maksud di balik peristiwa-peristiwa itu dan malah mengira bahwa hal
itu terjadi dengan sendirinya—terpisah dari campur tangan Allah—maka ia telah
melakukan kesalahan. Hal ini karena semua peristiwa yang terjadi dalam tiap
detik kehidupan sebenarnya adalah ujian yang Allah rencanakan bagi dirinya.
Manusia bertanggung jawab atas reaksi dan sikapnya terhadap ujian tersebut.
Cara ia mengarahkan dirinya dan menunjukkan moralitasnya, menentukan balasan
atau hukumannya di kehidupan akhirat.
Bahwa
tak satu pun pengalaman—kecil ataupun besar, berarti atau tidak—terjadi secara
kebetulan dan bahwa segala yang terjadi dalam kehidupan kita telah ditentukan
sebelumnya dalam takdir kita, semua itu adalah kenyataan yang harus diingat
oleh seseorang. Selama itu diingatnya, ia tidak akan pernah lupa bahwa segala
yang ia temui dalam kehidupan pada hakikatnya adalah baik untuknya. Dengan
demikian, apa yang ia hadapi hanyalah apa yang Allah kehendaki baginya.
Kesimpulannya, penting kiranya untuk mengingat bahwa dunia ini adalah tempat
ujian yang dengannya kita diharapkan dapat melihat kebaikan dan maksud Ilahiah
dalam kehidupan ini.
- Allah Tidak Membebani Seseorang Melebihi
Kemampuannya
Allah menguji
setiap manusia dengan ujian yang berbeda, beragam jenisnya, serta melalui
pengenalan yang berbeda pula. Akan tetapi, perlu disebutkan bahwa Allah Mahaadil
dan Dia sabar dalam menghadapi hamba-hamba-Nya (al-Halim). Dia tak pernah
membebani seseorang melebihi apa yang ia mampu. Ini adalah janji Allah,
“Kami tiada membebani
seseorang melainkan menurut kesanggupannya, dan pada sisi Kami ada suatu kitab
yang membicarakan kebenaran, dan mereka tidak dianiaya.” (al-Mu`minuun: 62)
“Dan orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh, Kami tidak memikulkan kewajiban
kepada diri seseorang melainkan sekadar kesanggupannya, mereka itulah
penghuni-penghuni surga; mereka kekal di dalamnya.” (al-A’raaf: 42)
Penyakit,
kecelakaan, semua bentuk tekanan, dan segala macam ujian yang dihadapi
seseorang dalam kehidupan dunia, adalah dalam rangkaian batasan kemampuan
seseorang untuk mengatasinya. Akan tetapi, jika seseorang memilih untuk
mengingkari dan tidak bersyukur kepada Allah dan lebih memilih perbuatan setan
daripada memelihara nilai-nilai mulia Al-Qur`an–misalnya kesabaran-maka pada
akhirnya ia akan menanggung balasannya.
Dalam
beberapa kasus, seseorang bisa saja merasa bahwa ia telah melakukan segala cara
yang memungkinkannya untuk keluar dari masalah, namun ia tidak melihat jalan
keluar. Karena ia tidak ingat bahwa tetap ada kebaikan dalam peristiwa tersebut,
ia memberontak dan marah. Ini semata-mata merupakan rasa yang tak berguna yang
diembuskan oleh setan. Apa pun yang dihadapinya dalam hidup ini, seorang mukmin
yang ikhlas harus tetap ingat bahwa ia dihadapkan pada situasi yang di dalamnya
ia dapat menetapi kebajikan dan kesabaran. Jika ia putus asa, itu hanyalah tipu
daya setan. Allah memerintahkan hamba-Nya untuk tidak berputus asa.
“Dan tidaklah mereka
mengetahui bahwa Allah melapangkan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang
dikehendaki-Nya? Sesungguhnya, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda
kekuasaan Allah bagi kaum yang beriman. Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang
melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari
rahmat Allah. Sesungguhnya, Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya, Dialah
Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu,
dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu
tidak dapat ditolong (lagi).’” (az-Zumar:
52-54)
Seseorang
yang menerima dan berusaha menetapi perintah Allah tersebut mengetahui bahwa
dari kebaikan akan timbul kebaikan pula. Seseorang yang putus asa akan
sendirian di dunia ini dan tidak mempunyai jalan keluar. Allah mengatakan pada
kita bahwa mereka yang putus asa terhadap kasih Allah adalah orang-orang yang
tidak beriman,
“Dan orang-orang yang
kafir kepada ayat-ayat Allah dan pertemuan dengan Dia, mereka putus asa dari
rahmat-Ku, dan mereka itu mendapat siksa yang pedih.” (al-‘Ankabuut: 23)
“… dan janganlah kamu
berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya, tiada berputus asa dari rahmat
Allah, melainkan kaum yang kafir.” (Yusuf:
87)
Dalam
menetapi perintah Allah, seorang mukmin tidak boleh berputus asa, tetapi harus mencoba
untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang apa yang terjadi di
sekitarnya melalui perenungan. Ketika seorang mukmin menemukan kesulitan,
kesulitan itu membuatnya sadar bahwa ada kebaikan di dalamnya dan ia memastikan
bahwa selama cobaan itu, ia menjadi bersemangat, sabar, pemurah, setia, tekun,
pengasih, dan penuh pengorbanan. Karena itu, sekarang ini adalah saat seorang
mukmin melatih rasa percayanya kepada Allah. Mengetahui bahwa saat di akhirat,
ia dianugerahi surga sebagai balasan atas kebaikan sikapnya di dunia,
bertambahlah sumber kebahagiaannya. Seseorang yang telah diuji di dunia akan
mengatasi kesulitan dengan ketegaran. Ia menerima berkah dan janji surga, dan
begitu menghargai keduanya. Karena itulah, ia menikmati kebahagiaan di dalam
semua itu. Penting untuk diingat bahwa seseorang yang mengalami kesulitan tidak
dapat menghargai kemudahan, bahkan jika mampu pun, ia tidak pernah memiliki
perasaan yang mendalam sebagai orang yang telah melewati banyak kesulitan
hidup.
Karena itu, setiap kesulitan yang dialami
seseorang pada akhirnya akan menjadi sember kebahagiaaan di akhirat.
Karena itu, sikap sabar, bijaksana, logis,
stabil, memaafkan, menyayangi, semuanya menujukkan tingkatan kemuliaan seorang
mukmin dan menawarkan kebahagiaan kepada manusia yang hanya didapatkan dari
keimanan. Atas izin Allah, kebahagiaan ini akan dinikmati selamanya.
- Setiap Kemalangan yang Menimpa Manusia Berasal
dari Dirinya Sendiri
Orang yang tidak mengamalkan akhlaq yang
diperintahkan di dalam Al-Qur`an sering menunjukkan ciri sifat yang sama. Jika
segala sesuatu berjalan sesuai kehendak, mereka mengira semua itu terjadi
karena diri mereka sendiri. Mereka bangga atas apa yang terjadi sesuai kehendak
mereka. Namun, saat kesialan menimpa, mereka mencari-cari kambing hitam. Tetapi
Allah Mahaadil, orang itu sendirilah yang pada akhirnya bertanggung jawab atas
setiap kemalangan yang menimpanya, seperti yang ditunjukkan oleh ayat berikut:
“Apa saja nikmat yang
kamu peroleh adalah nikmat dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu,
maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada
segenap manusiaa. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.” (an-Nisaa` 79)
Al-Qur`an memberikan beragam contoh untuk
menjelaskan bagaimana orang-orang kafir membolak-balikkan pemahaman atas segala
sesuatu yang terjadi. Sebagai contoh, Allah berfirman kepada kita dalam surat
al A’raf bahwa Fir’aun dan sifat-sifat setannya menjadi makar atas Musa a.s.
dan kaumnya. Bagaimanapun juga, mereka adalah sumber kejahatan.
“Kemudian apaabila datang
kepada mereka kemakmuran, mereka berkata, ‘Ini adalah karena (usaha) kami’. Dan
jika mereka ditimpa kesusahan, mereka melemparkan sebab kesialan itu kepada
Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka
itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak
mengetahui.” (al-A’raaf: 131)
Sebagaimana contoh yang dituliskan dalam
ayat di atas, dalam kondisi apa pun, orang yang jauh dari moralitas Al-Qur`an
mencari-cari kambing hitam. Mereka mengabaikan kesalahan mereka sendiri dan
menuduh orang lain. Bagaimanapun juga, seperti apa yang Allah firmankan dalam
ayat di atas, merekalah yang sebenarna bertanggung jawab atas kejahatan
tersebut. Jika orang-orang ini menafsirkan kejahatan sebagai kebaikan dan
sebaliknya, maka merekalah yang harus disalahkan.
Takdir yang Disalahpahami
Selama hidupnya, orang terus-menerus
merencanakan masa depan mereka, bahkan keesokan harinya atau sejam berikutnya.
Pada waktu tertentu, rencana ini berjalan seperti apa yang direncanakan.
Tetapi, kadangkala mereka tak dapat mencapainya karena hal-hal yang tidak
diharapkan. Mereka yang jauh dari ajaran Islam mengangap hal tersebut sebagai
kesulitan yang tidak disengaja.
Sebenarnya,
tak ada rencana yang pasti terselesaikan, ataupun kesulitan yang tak dapat
dicegah. Semua kejadian yang dihadapi seseorang dalam hidupnya telah ditentukan
sebelumnya oleh Allah dalam takdirnya. Hal ini disebutkan dalam ayat berikut,
“Dia meengatur urusan
dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang
kadarnya (laamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.” (as-Sajdah: 5)
“Sesungguhnya, Kami
menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (al-Qamar: 49)
Seorang mukmin salah mengira bahwa
hari-hari yang dilaluinya adalah apa yang telah ia rencanakan sebelumnya.
Kenyataan sebenarnya adalah bahwa ia hanya menyesuaikan diri dengan takdir
Allah yang telah ditetapkan atasnya. Bahkan jika seseorang mengira bahwa ia
telah berperan dalam sebuah situasi, ia menganggap ia dapat mengubah takdirnya.
Sebenarnya ia mengalami momen lain yang telah ditakdirkan untuknya. Tak ada
satu waktupun dalam kehidupan kita terjadi di luar takdir. Seseorang yang
sedang koma, tak lama kemudian meninggal karena Allah telah mentakdirkannya
demikian. Sedangkan orang dengan kondisi yang sama sembuh berbulan-bulan
kemudian karena ia telah ditakdirkan demikian pula.
Bagi orang yang tak benar-benar mengerti
arti takdir, semua peristiwa terjadi karena ketidaksengajaan. Ia salah
mengasumsikan bahwa segala yang ada di alam semesta ini mandiri keberadaannya.
Itulah mengapa ketika ia terkena bencana, ia menganggapnya sebagai suatu
kesialan.
Meski demikian, manusia terbatas kearifan
dan pemahamannya, ia bahkan dibatasi oleh ruang dan waktu. Di sisi lain, semua
yang menimpa seseorang telah direncanakan oleh Allah swt., Pemilik
Kebijaksanaan Yang Tak Terbatas, Dia yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
“Tak ada suatu bencanapun
yang menimpa di muka bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah
tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfudz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya,
yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (al-Hadiid: 22)
Pada dasarnya, apa yang harus dilakukan
seseorang adalah menyerahkan dirinya pada akdir yang telah ditetapkan oleh
penciptanya, dan tetap menyadari bahwa segalanya akan berakhir. Sesungguhnya, orang
yang benar keimanannya menggunakan setiap detik kehidupan mereka dengan
mengakui kenyataan bahwa apa pun yang terjadi, semuanya merupakan bagian dari
takdir mereka, dan bahwa Allah telah merencanakan keadaan tersebut dengan
maksud-maksud tertentu. Mereka terus mengambil manfaat dari pandangan yang
positif ini. Mereka bahkan menilainya sebagai suatu kebaikan. Akhlaq mulia dan
penyerahan diri total yang dijalankan oleh orang-orang beriman dijelaskan di
dalam Al-Qur`an sebagai berikut,
“Katakanlah, ‘Sekali-kali
tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi
kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman
harus bertawakal.” (at-Taubah:
51)
Pada akhirnya, seseorang tidak akan pernah
bisa mencegah terjadinya suatu peristiwa, baik ia menilainya sebagai suatu
kebaikan ataupun keburukan. Jika ia melihat kebaikan dalam segala hal, maka ia
akan selalu mendapatkan manfaat. Jika sebaliknya, ia hanya akan membahayakan
dirinya sendiri. Menyesal atau memberontak tak akan mengubah apa pun dalam
takdir seseorang. Karena itulah, tanggung jawab seorang manusia sebagai abdi
Allah adalah untuk menyerahkan dirinya kepada keadilannya yang tak terbatas dan
takdir yang telah ditentukan-Nya demi untuk menghargai semua peristiwa sebagai
suatu kebaikan dan orang yang demikian menyaksikan takdirnya dengan hati yang
tenang dan damai.
Setan Berusaha Menghalangi Manusia
untuk Menyadari Kebaikan
Di dalam Al-Qur`an, Allah mengatakan bahwa
setan sangatlah kufur dan suka melawan. Kita juga belajar dari Al-Qur`an bahwa
setan akan mendekati manusia dari setiap arah dan ia akan berusaha dengan
segala cara untuk membawa manusia kepada kebejatan moral. Metode yang paling
sering dilakukan setan dalam rencana jahatnya adalah menghalangi manusia dari
melihat kebaikan dalam segala peristiwa yang menimpanya. Dengan cara demikian,
ia juga berusaha untuk menyesatkan manusia kepada pemberontakan dan kekufuran.
Orang yang tidak mampu memahami keindahan akhlaq Al-Qur`an akan jauh dari
ajaran Islam dan mereka yang menghabiskan hidup mereka untuk mengejar
kesia-siaan dan melupakan akhirat akan mudah jatuh ke dalam perangkap setan.
Setan menyerang kelemahan manusia dan membisikkan
tipu daya yang menyenangkan kepada manusia. Ia memanggilnya untuk melawan Allah
dan takdir-Nya. Sebagai contoh, seorang mungkin tidak akan merasa kesulitan
untuk melihat bahwa tetangganya terkena musibah karena itu adalah bagian dari
takdirnya. Namun, dia mungkin tidak bersikap demikian saat ia atau kelurganya
tertimpa musibah yang sama. Karena hasutan setan, ia lebih mudah melawan kepada
Allah. Seseorang harus melatih kesabarannya supaya ia dapat berusaha melihat
kebaikan dalam semua peristiwa, untuk menunjukkan ketundukan dan kepercayaannya
kepada Allah. Ketidakmampuan untuk melatih kesadaran seseorang hanya akan
membawa kepada sikap yang salah.
Usaha setan untuuk menghalangi manusia
untuk melihat kebaikan dengan perbuatan mereka sendiri. Sebagai contoh, setan
berusaha untuk meletakkan rasa takut di dalam hati seseorang yang ingin
memanfaatkan kekayaannya karena Allah. Godaan setan ini disebutkan di dalam
ayat berikut,
“Setan menjanjikan
(manakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan
(kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan
Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (al-Baqarah: 268)
Bagaimanapun juga, semua perasaan itu
adalah sia-sia. Rencana rahasia setan ini tidak dapat mempengaruhi orang-orang
beriman, karena tujuan mereka dalam menggunakan kekayaannya bukanlah untuk
mendapatkan keuntungan dunia ataupun kesenangannya sendiri. Tujuan utamanya
adalah untuk mendapatkan keridhaan Allah, rahmat, dan jannah-Nya. Karena itulah,
setan tidak dapat menipu orang-orang beriman dengan bisikan yang sia-sia. Dalam
ayat berikut dinyatakan bahwa setan tidak dapat mempengaruhi orang-orang
beriman,
“Dan jika kamu ditimpa
sesuatu godaan syaitan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya, orang-orang yang bertaqwa
bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka
ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (al-A’raaf: 200-201)
Dari
hal-hal tersebut di atas, kita harus memahami bahwa setan memakai dua cara
untuk menghalangi manusia dari perbuatan baik. Pertama-tama, ia berusaha
menghalangi kebaikan dan perbuatan yang bermanfaat, dan menyodorkan kesengan
dunia sebagai tujuan hidup satu-satunya. Kemudian, ia bersungguh-sungguh
menghalangi manusia dari melihat kebaikan dan maksud yang terkandung di balik
setiap peristiwa.
Bagaimanapun
juga, begitu banyak keberkahan yang diberikan cuma-cuma kepada seseorang hingga
ia tidak akan bisa menghitungnya. Sejak lahir, manusia dianugerahi keberkahan
yang tak terhitung dari Tuhannya, anugerah yang tidak ada henti sepanjang
hidupnya. Itulah mengapa, orang beriman yang menjadikan Tuhan mereka sebagai
satu-satunya kawan dan pelindung mereka akan memberikan rasa percaya mereka
sepenuhnya kepada Allah. Ketika sesuatu terjadi tidak sesuai keinginan, mereka
sadar bahwa ada kebaikan di dalamnya. Mereka bersabar bahkan sekalipun saat
mereka tidak bisa langsung menemukan maksud Ilahiah di balik kejadian tersebut.
Seperti yang dikatakan Nabi saw., “Mintalah pertolongan Allah dari
kesulitan akan malapetaka yang hebat.” (Bukhari).
Tak peduli apa pun yang terjadi pada mereka, orang-orang beriman tidak pernah
memberontak atau bahkan mengeluh. Mereka selalu mengingat bahwa kejadian yang
berlawanan dengan keinginan mereka itu akan menjadi keberkahan bagi mereka. Dan
dengan kehendak Allah, kesulitan tersebut pada akhirnya terbukti menjadi tolak
ukur utama dalam kehidupan mereka dan membawa kepada keselamatan abadi.
Contoh-Contoh Kehidupan Nabi
dan Orang-Orang Beriman
Perjuangan
melawan orang kafir menjadi dasar utama perjuangan pada nabi dan orang-orang
beriman yang mengikutinya. Orang-orang mulia ini berhadapan dengan berbagai
peristiwa yang kelihatannya tidak menguntungkan. Namun, saat menghadapi
cobaan-cobaan tersebut, muncullah sifat-sifat istimewa mereka. Tak peduli
bagaimanapun keadaannya, mereka merasakan kedamaian dan kenyamanan karena
mengetahui bahwa tak ada satu pun yang lepas dari Allah. Pemahaman ini menolong
mereka untuk selalu bersikap positif.
Rasul
Allah dan orang beriman memastikan kehidupannya pada kenyataan bahwa Allah akan
menolong mereka melewati masa sulit dan bahwa segalanya pada akhirnya akan
menjadi karunia bagi mereka. Mereka menjadikan kenyataan tersebut sebagai dasar
semua pandangan mereka.
Fitnahan Orang-Orang Kafir
Sebagaimana
telah kita pelajari dari Al-Qur`an, orang-orang beriman menghadapi sekelompok
orang kafir dan munafik yang menggunakan berbagai cara untuk menyesatkan mereka
dari jalan yang benar. Al-Qur`an memberika contoh rinci tentang penghinaan dan
umpatan yang digunakan oleh orang-orang kafir,
“Kamu sungguh-sungguh
akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan
mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang
yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika
kamu bersabar dan bertaqwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan
yang patut diutamakan.” (Ali
Imran: 186)
Dalam
ayat di atas, Allah menjelaskan bahwa kebohongan dan fitnah yang ditujukan
kepada orang-orang beriman sebenarnya baik bagi mereka. Dalam ayat lainnya,
Allah menghubungkan kenyataan tersebut dengan contoh lain di masa Nabi saw.,
“Seseungguhnya orang-orang
yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu
kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu.
Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya.
Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian terbesar dalam penyiaran
berita bohong itu baginya azab yang besar.” (an-Nuur: 11)
Keadaan
yang dihadapi oleh orang-orang beriman di masa lalu ini merupakan taktik yang
dimainkan oleh para kaum kafir untuk menghalangi dan menjauhkan mereka dari
ketaatan pada prinsip-prinsip Islam. Namun, orang-orang beriman tetap teguh
menyakini bahwa maksud jahat ini pada akhirnya akan terungkap dan menguntungkan
orang-orang beriman. Itulah mengapa mereka merespon fitnah mereka dengan sikap
biasa saja dan bijaksana. Tak sekalipun mereka lupa bahwa kesabaran dan rasa
percaya mereka pada Allah akan membawa kepada keberhasilan. Mereka menyadari
–seperti yang dikatakan oleh Nabi s.a. w., “Barangsiapa yang
tetap bersabar, Allah akan membuatnya sabar. Tak ada karunia yang lebih baik
daripada kesabaran.” (HR Bukhari)
Sebagaimana
contoh-contoh di masa lalu tersebut, sangatlah penting bagi orang-rang beriman
sekarang ini untuk menyerahkan diri mereka akan kebenaran bahwa segalanya
berjalan sesuai dengan maksud Ilahi. Seorang mukmin yang hidup dengan
prinsip-prinsip ini juga akan mendapat ganjaran terbesar di dunia. Karena Allah
berjanji untuk menolong hamba-Nya yang percaya pada-Nya. Dan Dia memastikan
bahwa mereka tidak akan menemukan jalan keluar lainnya selain dengan-Nya.
“Jika Allah menolong
kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan
kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong
kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja
orang-orang mukmin bertawakal.” (Ali
Imran: 160)
Tekanan Fisik dari Orang-Orang Kafir
Sepanjang
sejarah, masyarakat kafir selalu menganggap bahwa komitmen kaum mukminin
terhadap agama Allah, cara hidup mereka dengan prinsip-prinsip Islam, serta
penyebaran risalah Allah ini adalah ancaman bagi mereka. Itulah mengapa, demi
untuk menghancurkan akhlaq kaum mukminin mereka melakukan cara-cara yang jahat
seperti memfitnah dan menipu daya. Jika cara-cara demikian gagal, mereka tidak
sungkan-sungkan melakukan cara-cara yang lebih keras, seperti mengancam,
menyekap, dan menangkap atau menyeret kaum mukminin keluar dari rumah mereka.
Perlakuan
buruk yang diterima kaum beriman dalam perjuangan mereka dengan orang-orang
kafir adalah bukti betapa orang-orang kafir itu tidak tahu malu. Namun
orang-orang mukmin selalu menemukan kebaikan dalam perlakuan kasar yang mereka
terima. Mereka tahu bahwa Allah pasti telah menggariskan hal tersebut untuk
tujuan-tujuan tertentu. Mereka sangat sadar bahwa kebajikan yang benar adalah
dengan bersabar dan yakin kepada Allah. Allah menggambarkan hal ini dalam ayat
berikut,
“Bukanlah menghadapkan
wajahmu kearah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya
kebaktian itu adalah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat,
kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada
kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan
pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba
sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati
janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar
(imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.” (al-Baqarah: 177)
Sebagian
dari sifat positif yang istimewa ini diilustrasikan dalam surat al Ahzab,
dihubungkan dengan peristiwa yang terjadi di zaman nabi Muhammad saw.. Menurut
kisah tersebut, selama pertempuran orang-orang mukmin diuji dan didera
penderitaan saat kaum kafir menyerang mereka dari segala penjuru. Dalam keadaan
demikian, kaum munafik dan mereka yang memiliki penyakit di hatinya memberikan
berbagai alasan yang menujukkan siapa diri mereka sebenarnya.
Dalam
kondisi demikian, kaum munafik yang telah berbaur selama beberapa waktu dengan
komunitas kaum mukminin ini mulai dikenali. Orang-orang seperti itu, tak ada
bedanya dengan sel-sel kanker yang menggerogoti tubuh. Mereka cepat sekali
mundur di saat-saat sulit, walaupun pertolongan dan rezeki Allah selalu
diberikan kepada orang-orang beriman.
Sementara
kaum munafik menghina, orang-orang beriman yakin akan kebaikan dalam kesulitan
yang mereka hadapi. Seorang mukmin menyadarkan diri mereka sendiri untuk
menjalankan apa yang diperintahkan di dalam Al-Qur`an, dan mencapai tingkat
keimanan dan kesetiaan kepada Allah yang lebih tinggi.
“Dan tatkala orang-orang
mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata, ‘Inilah
yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita’. Dan benarlah Allah dan
Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman
dan ketundukan.” (al-Ahzab: 22)
Sebagaimana
yang dicontohkan di atas, ujian dapat menjadi sebuah keberkahan yang besar bagi
orang-orang beriman, sementara bagi mereka yang tidak dapat menghargai
kebaikan, ujian yang sama dapat menyesatkan mereka kepada kekufuran. Padahal
ujian tersebut diberikan untuk menghapuskan usaha-usaha kaum kafir serta untuk
membedakan kebaikan dari kejahatan. Dalam surat al Ahzab dikisahkan tentang
orang beriman yang tidak mampu mencapai keberhasilan, karena itu ia marah dan
dengki,
“Dan Allah menghalau
orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka
tidak memeroleh keuntungan apapun. Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin
dari peperangan. Dan adalah Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa.” (al-Ahzab: 25)
Hijrahnya Kaum Muslimin
Meninggalkan
harta dan hijrah ke tempat lain jika memang diperlukan adalah merupakan bentuk
penghambaan yang disebutkan di dalam Al-Qur`an. Karena itu, kaum muslimin yang
berhijrah karena Allah selalu melihat kebaikan dalam “kepindahan terpaksa”
mereka. Sesungguhnya, di dalam Al-Qur`an disebutkan bahwa hijrah karena Allah
dilakukan oleh mereka yang mengharapkan kasih sayang Allah.
“Sesungguhnya, orang-orang
yang beriman, berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan
rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Baqarah: 218)
Orang
yang bodoh mengira bahwa perginya seseorang dari tanah kelahiran karena
kerusuhan atau pembuangan ke negeri yang asing adalah merupakan sebuah
kemalangan, dan benar-benar melemparkan kehidupan seseorang kepada kehancuran.
Namun mesti disebutkan bahwa kaum mukminin menyadari sejak awal bahwa mereka
akan dibenci oleh kebanyakan orang yang menafikan agama Allah. Maka dari itu,
tekanan yang demikian sebenarnya merupakan manifestasi kebenaran ayat-ayat
Allah. Itulah mengapa orang-orang beriman yang berhijrah atau terpaksa
meninggalkan rumah mereka selalu menghadapi kondisi demikian dengan penuh
semangat dan pengharapan yang besar. Akhlaq mulia orang-orang beriman yang
hidup di zaman Nabi saw. dan keimanan mereka yang tak tergoyahkan adalah
merupakan contoh-contoh terbaik bagi kita. Dengan menyadari bahwa kepatuhan kepada
Nabi saw., mereka akan mendapatkan keridhaan Allah. Mereka sudi memikul
penderitaan dan semua kesusahan dengan senang hati. Demi kebaikan kaum
muslimin, mereka tidak sungkan meninggalkan negeri mereka dan mengabaikan semua
harta dunia mereka.
Sebagai
balasan atas akhlaq istimewa mereka, Allah juga memberikan kabar gembira dengan
limpahan kebaikan dan rezeki di dunia. Hal ini disebutkan di dalam Al-Qur`an
sebagai berikut,
“Barangsiapa berhijrah di
jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas
dan rezeki yang banyak. Barangsiapa yang keluar dari rumahnya dengan maksud
berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum
sampai ke tempat yang dimaksud), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi
Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang..” (an-Nisaa` 100)
“(Yaitu) orang-orang yang
sabar dan hanya kepada Tuhan saja mereka bertawakal. Dan Kami tidak mengutus
sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka;
maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui.” (an-Nahl: 41-42)
Contoh Keimanan Nabi Muhammad
Nabi
Muhammad saw., seperti halnya nabi-nabi sebelumnya, menghadapi berbagai
kesukaran sepanjang hidupnya. Ia menjadi contoh terbaik bagi semua muslim akan
kesabaran dan keimanannya kepada Allah. Sebuah peristiwa diceritakan dalam
Al-Qur`an tentang akhlaq mulia dan keimanan Nabi Muhammad saw..
Ketika
Nabi saw. meninggalkan kota Mekkah, kaum kafir membujuknya dan bermaksud
membunuhnya. Nabi beristirahat dalam sebuah gua. Dalam pencarian mereka,
orang-orang kafir menghampiri gua tersebut. Dalam kondisi yang sulit itupun,
Nabi saw. menasehati sahabatnya untuk tidak khawatir dan mengingatkannya untuk
meyakini Allah,
“Jikalau kamu tidak
menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika
orang-orang kafir (musyrikin Mekkah) mengeluarkannya (dari Mekkah) sedang dia
salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu ia
berkata kepada temannya, ‘Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah
bersama kita.’ Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan
membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan
seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang
tinggi. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (at-Taubah: 40)
Satu-satunya
alasan mengapa Nabi saw. tidak merasa ketakutan atau tertekan saat hidupnya
jelas-jelas dalam bahaya adalah karena keyakinannya pada Allah, bahwa Dia
menetapkan takdir seseorang untuk maksud tertentu. Pada akhirnya, beliau sampai
di Madinah dengan selamat, dan dengan demikian dimulailah babak hijrah, sebuah
titik tolak sejarah Islam.
Akhlaq Mulia Nabi Musa a.s.
Al-Qur`an
menunjukkan kisah perjuangan Nabi musa menghadapi Fir’aun yang dikenal sebagai
penguasa yang paling zalim dalam sejarah. Fir’aun merespon panggilan Allah yang
disampaikan kepadanya lewat Nabi Musa a.s. dengan ancaman siksaan. Tingginya akhlaq dan keyakinan Nabi
Musa a.s. kepada Allah- yang menggunakan berbagai cara untuk mengajaknya ke
jalan yang benar adalah sebuah contoh bagi semua orang beriman.
Al-Qur`an
menjelaskan masa kenabian Nabi Musa sebagai berikut: Fir’aun yang berkuasa di
Mesir memberlakukan kekuasaan absolut atas rakyat Bani Israil. Di sisi lain,
Musa a.s. dan kaumnya adalah kaum minoritas di negeri itu. Karena itulah, dari
sudut pandang orang bodoh yang menilai sesuatu hanya dari penampakannya, ia
akan salah mengira bahwa kekuatan dan kekuasaan akan menang. Ia mengira Fir’aun
yang akan menang. Namun itu semua adalah delusi karena Allah memerintahkan hal
berikut:
“Allah telah menetapkan,
‘Aku dan rasul-Ku pasti menang’. Sesungguhnya, Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa’. (al-Mujadalah: 21)
Allah
menepati janji-Nya pada para Nabi dan memberikan kemenangan kepada Nabi Musa
a.s. dalam melawan Fir’aun. Allah membantunya sebagaimana saudaranya Harun,
dengan sebaik-baik perlindungan-Nya. Dan Allah memberikan mukjizat kepada Musa
a.s. untuk menempa dan mengistimewakan Musa dari yang lain dengan berbicara
langsung kepadanya. Kita dapat mengambil pelajaran dari perjuangan Nabi Musa
sebagaimana dituliskan di dalam Al-Qur`an. Hal ini jelas menunjukkan bagaimana
sesuatu yang mungkin muncul bagi orang-orang mukmin dengan seijin Allah dapat
segera menjadi keberkahan bagi mereka.
Ada
sebuah peritiwa ketika Fira’aun dan pasukannya berniat menangkap Musa a.s. dan
kaumnya setelah melewati Mesir. Saat orang-orang Bani Israil telah mencapai
lautan, Fir’aun dan tentaranya hampir saja menangkap mereka. Pada saat itu,
kalimat Nabi Musa a.s. sangatlah ajaib. Walau Fir’aun dan tentaranya nyaris
menangkap mereka, dan tak ada lagi kesempatan menyelamatkan diri, Musa tidak
putus asa akan pertolongan Allah. Ia mempertahankan kesabaran yang patut
dicontoh. Kisah ini diceritakan di dalam Al-Qur`an sebagai berikut:
“Maka Fir’aun dan bala
tentaranya dapat menyusul mereka di waktu matahari terbit.Maka setelah kedua
golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa, ‘Sesungguhnya, kita
benar-benar akan tersusul.’ Musa menjawab, ‘Sekali-kali tidak akan tersusul;
sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku’. Lalu
kami wahyukan kepada Musa, ‘Pukullah lautan itu dengan tongkatmu’. Maka
terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar.
Dan di sanalah Kami dekatkan golongan yang lain itu. Sesungguhnya, pada yang
demikian itu benar-benar merupakan suatu tanda yang besar (mukjizat) dan tetapi
adalah kebanyakan mereka tidak beriman. Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar
Dialah Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang.” (asy-Syu’araa`: 60-68)
Dalam kisah ini, kita diminta untuk
memperhatikan sifat-sifat utama Nabi Musa a.s.. Selama perjuangannya yang
sulit, ia terus-menerus mengingat pertolongan Allah, melihat kebaikan dalam
segala hal yang menimpanya, dan bahwa di saat ujian terberatnya, berusaha untuk
mempercayai Allah dan menjaga kesetiaannya kepada-Nya.
Kepatuhan Nabi Yusuf a.s. Di dalam Al-Qur`an
Salah satu contoh yang indah tentang perubahan
situasi yang merugikan menjadi berkah bagi orang-orang beriman, yaitu tentang
kehidupan Nabi Yusuf a.s..
Nabi Yusuf a.s. sejak kecil dan sepanjang
hidupnya dikenal karena sikapnya yang matang oleh penderitaan dan kesetiaannya
yang luar biasa kepada Allah. Sikapnya dalam menjalani ujian merupakan contoh
yang luar biasa bagi seorang mukmin. Nabi Yusuf a.s. yang menjadikan Allah
sebagai pelindungnya, mencari kebaikan dalam segala hal yang menimpanya. Ia
menyadari bahwa apa pun yang ia hadapi adalah berasal dari Allah. Karena itulah,
sepanjang hidupnya, ia menganggap setiap kesulitan adalah sebuah ujian. Dan ia
selalu yakin dan teguh pendiriannya.
Nabi Yusuf a.s. sejak awal diperlakukan tidak
adil oleh saudara-saudaranya yang iri padanya. Mereka melemparkannya ke sebuah
sumur, hingga ia tak dapat pulang dan bertemu ayahnya. Bagaimanapun juga Allah
menyelamatkannya dari sumur itu. Para musafir dengan karavan mereka lewat dan
menolong Yusuf. Mereka menjualnya kepada orang terkemuka di Mesir. Disebutkan
dalam Al-Qur`an bahwa istri majikannya yang sangat terkesan dengan ketampanan
Yusuf berusaha merayunya. Dengan demikian, Yusuf a.s. sekali lagi diperlakukan
tidak adil. Kali ini ia difitnah oleh perempuan itu. Walaupun penyelidikan yang
dilakukan membuktikan bahwa Yusuflah yang benar, ia tetap dipenjara.
“Kemudian timbul pikiran
pada mereka setelah melihat tanda-tanda (kebenaran Yusuf) bahwa mereka harus
memenjarakannya sampai sesuatu waktu.” (Yusuf: 35)
Yusuf a.s. difitnah hanya karena sifat mulianya.
Karena tuduhan itu, Yusuf a.s. tinggal di penjara untuk waktu yang lama. Ia
menunjukkan kesabaran menghadapi semua kesulitan hidup dan tetap yakin pada
Allah. Sebagaimana disebutkan oleh Al-Qur`an, dengan caranya memimpin dirinya,
serta ketundukannya kepada Allah, ia benar-benar menjadi teladan bagi semua
mukmin.
Tentu saja Yusuf a.s. menerima pahala terbesar,
baik di dunia dan di akhirat, sebagai balasan kesabaran dan rasa percayanya
kepada Allah. Ia menyadari kebaikan dalam segala yang menimpanya. Allah
memberinya kekuasaan atas negeri yang kaya dan menjadikannya seorang penguasa
disana. Kesadarannya akan kebaikan dalam segala yang terjadi padanya dan do’anya
kepada Allah disebutkan di dalam Al-Qur`an sebagai berikut:
“Dan ia menaikkan kedua
ibu-bapaknya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya
sujud kepada Yusuf. Dan berkatalah Yusuf, ‘Wahai ayahku, inilah ta’bir mimpiku
yang dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah berbuat baik kepadaku, ketika Dia
membebaskan aku dari rumah penjara dan ketika membawa kamu dari dusun padang
pasir, setelah syaitan merusakkan (hubungan) antaraku dan saudara-saudaraku. Sesungguhnya,
Tuhanku Maha Lembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya, Dialah yang
Maha mengetahui lagi Mahabijaksana. ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah
menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku
sebahagian ta’bir mimpi. (Ya Tuhan), Pencipta langit dan bumi. Engkaulah
pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan
gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.’” (Yusuf: 100-101)
Sesungguhnya, kisah ini adalah contoh yang baik
tentang pahala yang diterima seorang mukmin sebagai balasan atas ketulusan dan
rasa percayanya kepada Allah. Apapun yag terjadi pada seorang mukmin yang
ikhlas, ia harus berusaha menemukan dan memahami maksud peristiwa-peristiwa
tersebut. Ia harus memohon pertolongan kepada Allah dan berdo’a untuk itu.
Seorang muslim tidak boleh lupa bahwa setiap peristiwa besar atau kecil, yang
mungkin menimpa, tidaklah berarti menyusahkan dirinya. Sebaliknya, ini adalah
merupakan kebenaran takdir, hukum Allah yang kekal abadi. Allah pasti telah
menetapkan segalanya untuk kebaikan orang-orang beriman. Sebagai sebuah
keberkahan yang besar. Di dalam hati orang-orang beriman, Allah dapat
mengungkapkan maksud dan kebaikan dari sebuah kejadian. Tetapi jika tidak
sekalipun, seorang mukmin harus bersabar dan ia harus mengetahui bahwa semua
itu tak lain untuk kebaikan.**
Janji Allah dan Pertolongannya
bagi Orang-Orang Beriman
Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur`an, “Kebanyakan manusia tidak beriman (kepadanya).” (ar Ra’ad:
1), berarti bahwa
orang-orang kafir biasanya menjadi mayoritas manusia di muka bumi. Mereka
selalu lebih banyak jumlahnya dari orang-orang beriman. Itulah mengapa
orang-orang bodoh itu menyangka dirinya berada di jalan yang benar. Kekayaan
materi telah menipu mereka dengan kepastian yang palsu. Menyadari bahwa hanya
penampakan benda-benda itulah yang membuat mereka salah mengira bahwa diri
mereka hebat. Namun, tetap ada kenyataan yang sama sekali tidak mereka sadari.
Janji dan bantuan Allah kepada orang-orang beriman,
“(Yaitu) orang-orang yang
menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang
mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata,
‘Bukankah kami (turut berperang) bersama kamu? Dan jka orang-orang yang kafir
mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata, ‘Bukanlah kami turut
memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang yang beriman?’. Maka Allah
akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali
tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang
yang beriman.” (an-Nisaa`: 141)
Di sisi lain, kaum kafir dan munafik
menyembunyikan berbagai macam ketakutan. Mereka begitu prihatin karena tidak
memiliki keimanan kepada Allah. Mereka menyembah Tuhan selain Allah, dan
meyakini bahwa sebuah peristiwa terjadi secara kebetulan. Ini sebenarnya
ketakutan yang Allah tanamkan di dalam hati mereka yang memerangi orang-orang
beriman.
“(Ingatlah), ketika
Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya, Aku bersama kamu, maka
teguhkankanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman’. Kelak akan Aku
jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir.” (al-Anfal: 12)
Bantuan dan pertolongan yang ditawarkan Allah
kepada orang-orang beriman terus ada sepanjang hidup mereka. Sepanjang sejarah
dan dalam berbagai cara, Allah telah memberikan pertolongannya kepada
orang-orang beriman. Dalam beberapa kesempatan, Allah memberikan mukjizat
kepada para Nabi-Nya, dalam kesempatan lain Ia membantu kaum muslimin dengan
pasukan yang tak terlihat, para malaikat, atau melalui kejadian alam.
Kadangkala Ia memberikan mukjizat kepada para Nabi-Nya, dalam kesempatan lain
Ia menolong kaum muslimin dengan pasukan yang tak nampak, malaikat, atau
peristiwa alam. Bahkan sering pula dengan kejadian-kejadian yang tidak
terlihat. Beberapa contoh disebutkan di dalam Al-Qur`an sebagai berikut,
“Hai orang-orang yang
beriman, ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikurniakan) kepadamu ketika
datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan
dan tentara yang tidak dapat kamu melihatnya. Dan adalah Allah Maha Melihat
akan apa yang kamu kerjakan.” (al-Ahzab:
9)
“(Ingatlah), ketika kamu
memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu, ‘Sesungguhnya,
Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang
berturut-turut.” (al-Anfaal: 9)
“Sesungguhnya, telah ada
tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur). Segolongan
berperang di jalan Allah dan (segolongan) yagn lain kafir yang dengan mata
kepala melihat (seakan-akan) orang-orang muslimin dua kali jumlah mereka. Allah
menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya, pada
yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati.”
(Ali Imran: 13)
Semua Makar Yang Direncanakan atas
Kaum Muslimin Dihancurkan Sejak Awal
Kaum kafir melakukan segala macam tipuan dalam
perjuangan mereka melawan kaum muslimin. Salah satu cara yang paling sering
mereka gunakan adalah bersekutu melawan kaum muslimin. Orang-orang kafir yakin
bahwa mereka akan menang karena mereka adalah mayoritas, dan merekalah yang
membuat makar rahasia. Mereka tidak tahu bahwa Allah melihat apa yang mereka
rencanakan. Mereka benar-benar lupa bahwa Allah lebih dekat kepada seseorang
daripada urat lehernya sendiri. Walaupun mereka menyimpan rahasia itu, ataupun
mereka nyatakan terang-terangan, Allah mengetahui apa yang ada di hati mereka.
Allah tahu setiap hal kecil dari pikiran seseorang, dan Ia pun mengetahui
setiap rencana yang mereka buat.
Yang lebih penting lagi, Allah Yang Maha
Mengetahui mengatakan kepada kita bahwa Ia telah mengacaukan rencana kaum kafir
sejak semula. Tak peduli betapa rahasianya rencana tersebut. Semua makar atas
kaum muslimin digagalkan sejak awal mereka merencanakannya.
“Allah melemahkan tipu
daya orang-orang yang kafir.” (al-Anfal:
18)
“Dan sesungguhnya mereka
telah membuat makar yang besar padahal di sisi Allah-lah (balasan) makar mereka
itu. Dan sesungguhnya makar mereka itu (amat besar) sehingga gunung-gunung
dapat lenyap karenanya.” (Ibrahim:
46)
Sebagai tambahan, Allah mengatakan kepada kita
bahwa rencana yang demikian tidak akan merugikan kaum mukminin, dan bahwa pada
akhirnya mereka akan termakan rencana jahat mereka sendiri,
“Karena kesombongan
(mereka) di muka bumi dan karena rencana (mereka) yang jahat. Rencana yang
jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya sendiri.
Tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan (berlakunya) sunnah (Allah yang
telah berlaku) kepada orang-orang yang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan
mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan
menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu.” (Faathir: 43)
Orang-orang beriman yakin pada janji Allah
(bahwa Ia akan menggagalkan makar orang-orang kafir). Menyadari bahwa pertolongan
Allah selalu bersama mereka, mereka hidup dalam ketenangan. Sebagaimana telah
ditekankan sejauh ini, berkat kepasrahan, mereka dapat melihat kebaikan dan
maksud setiap kejadian yang mereka hadapi; dan bahkan jika mereka gagal
melihatnya, mereka percaya sepenuhnya bahwa setiap peristiwa pada akhirnya akan
menjadi kebaikan bagi orang-orang beriman.
Golongan Allahlah yang Menang!
Allah menjanjikan banyak pahala atas usaha kita
untuk selalu menemukan kebaikan dan selalu yakin kepada-Nya, bahkan dalam
peristiwa yang buruk sekalipun.
“(Yaitu) orang-orang
(yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang
mengatakan, ‘Sesungguhnya, manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang
kamu, karena itu takutlah kepada mereka’, maka perkataan itu menambah keimanan
mereka dan mereka menjawab, ‘Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah
adalah sebaik-baik Pelindung. Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia
(yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka
mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Ali Imran:
173-174)
Ingatkan diri kita bahwa orang-orang beriman
selalu menang. Bagaimanapun juga, semua penderitaan hanyalah sebuah ujian dari
Allah bagi orang-orang beriman. Sebagaimana telah disebutkan di awal, ujian
adalah bagian dari rencana Ilahiah untuk membedakan mukmin sejati dari mereka
yang lemah imannya. Orang-orang beriman yang meyakini Allah bersabar dan
melihat kebaikan dalam semua yang terjadi, mereka terus menerus menujukkan
kesetiaan dan keyakinan mereka kepada Allah. Merekalah yang akan mendapatkan
keridhaan Allah, baik di dunia ini ataupun di akhirat nanti.
“Dan barangsiapa
mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya,
maka seseungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (al-Maa`idah: 56)
Kesimpulan
Orang-orang beriman sepenuhnya hidup dalam
kepatuhan kepada Allah. Mereka menyadari bahwa dalam setiap detik kehidupannya
segala hal diciptakan oleh Allah dan telah ditentukan sebelumnya oleh Dia
dengan rencana tertentu. Walaupun orang-orang beriman dapat menghadapi segala
macam kesulitan dan cobaan sepanjang hidupnya, mereka tidak pernah menyesal dan
berkata, “seandainya ini tidak terjadi padaku”. Mereka percaya bahwa suatu
tujuan Ilahiah dan kebaikan akan ditemukan dalam setiap kejadian. Karena
itulah, bahkan dalam keadaan yang sangat menekan, mereka hidup dalam kedamaian
pikiran. Bagaimanapun juga, kaum kafir yang tidak menyadari kebenaran ini,
merasa sangat khawatir saat berhadapan dengan sebuah peristiwa yang menurut
mereka buruk. Keputusasaan menghantui hidup mereka. Sesuai fitrah, kenyataannya
manusia tidak henti-hentinya mencari kedamaian dan kenyamanan hidup dari
penderitaan fisik dan spiritual yang disebabkan oleh kesulitan, stress, dan
kesedihan. Namun kepedihan, tekanan, dan keputusasaan yang ditimpakan kepada
seseorang yang tidak yakin kepada Allah atau tidak mencoba melihat kebaikan
dalam apa yang menimpanya, akan sangat mengganggu hidupnya. Ia tidak akan dapat
membebaskan dirinya dari ketakutan akan masa depan, kematian, dan kemiskinan.
Keselamatan manusia hanyalah didapat dengan
mengingat bahwa Allah menciptakan setiap kejadian demi tujuan-tujuan Ilahiah
dan kebaikan tertentu. Seorang mukmin meyakini keimanannya kepada Allah dengan
sebenar-benarnya iman, karena ia memahami hal tersebut. Ia bersikap sebagai
hamba sejati bukan hanya karena ia bertahan dalam keadaan ini, tetapi ia
menjalaninya dengan penuh kesabaran. Selalu berusaha dekat dengan Allah, berdo’a,
dan meyakini-Nya, serta berharap bahwa segalanya datang dari Allah, adalah
merupakan sifat-sifat istimewa orang-orang beriman.
Di dunia ini, tempat dimana kita menunggu
dibukanya gerbang surga, seorang mukmin menghadapi berbagai macam keadaan
sebagai bagian dari cobaan hidupnya. Selama cobaan ini, ia memimpin dirinya
dengan tanggung jawab kepada Allah dan berusaha keras untuk mendapatkan
keridhaan Allah dan surga-Nya. Ia menjauhi nereka, takut kepada Allah, dan
melihat kebaikan dalam segala yang terjadi pada diri dan sekitarnya. Walaupun
misalnya ia tidak dapat melihat kebaikan itu, ia selalu ingat bahwa Allah-lah
yang mengetahui segalanya, bagaimanapun keadaannya. Seorang mukmin adalah suatu
zat yang telah diturunkan ke dunia dari surga melalui ketiadaan waktu. Itulah
dalam pandangan Allah. Di sinilah ia tinggal untuk jangka waktu yang singkat,
sampai ia diijinkan Allah untuk masuk ke dalam peristirahatan terakhirnya.
Allah mengatakan kepada kita tentang sebuah peritiwa yang pasti akan terjadi
pada hamba-Nya yang takut pada-Nya dan selalu melaksanakan tugas-tugas
dari-Nya.
“Dan orang-orang yang bertaqwa
kepada Tuhan dibawa ke dalam surga berombongan-rombongan (pula). Sehingga
apabila mereka sampai ke surga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka dan
berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya, ‘Kesejahteraan (dilimpahkan)
atasmu, Berbahagialah kamu! Maka masukilah surga ini, sedang kamu kekal di
dalamnya.’ Dan mereka mengucapkan, ‘Segala puji bagi Allah yang telah
memenuhijanji-Nya kepada kami dan telah (memberi) kepada kami tempat ini sedang
kami (diperkenankan) menempati tempat dalam surga di mana saja yang kami
kehendaki.’ Maka surga itulah sebaik-baik balasan bagi orang-orang yang
beramal. Dan kamu (Muhammad) akan melihat malaikat-malaikat berlingkar di
sekeliling ‘Arsy bertasbih sambil memuji Tuhannya; dan diberi putusan di antara
hamba-hamba Allah dengan adil dan diucapkan, ‘Segala puji bagi Allah, Tuhan
semesta alam.’” (az Zumar: 73-75)
Kesalahpahaman Teori Evolusi
Setiap detail alam semesta ini menunjukkan
sebuah ciptaan yang luar biasa. Sementara materialisme yang menafikan fakta
penciptaan alam semesta tak ada artinya kecuali sebuah pemikiran yang keliru
dan tidak ilmiah.
Sekali materialisme dinyatakan tidak sah, semua
terori lainnya yang berbasis pada filosofi materialisme membuatnya tak
berdasar. Terlebih lagi teori Darwin, yakni teori evolusi. Teori yang
berargumen bahwa kehidupan berasal dari materi yang mati secara kebetulan ini
telah dijatuhkan oleh penemuan bahwa alam semesta diciptakan oleh Tuhan.
Seorang astro-fisikawan Amerika, Hugh Ross, menjelaskan hal tersebut:
“Ateisme, Darwinisme, dan
isme-isme lainnya yang berasal dari filsafat abad ke-19 sampai 20 dibangun atas
asumsi yang salah yaitu bahwa alam semesta adalah tak terbatas. Keanehan
tersebut telah membawa kita berhadapan dengan penyebab –atau yang menyebabkan-
di luar/ di balik/ sebelum adanya alam semesta dan semua yang dikandungnya,
termasuk kehidupan itu sendiri.”1
Allah-lah yang menciptakan alam semesta dan
merencanakannya hingga detail terkecil. Karena itulah, mustahil teori yang
berpendapat bahwa makhluk hidup tidak diciptakan oleh Tuhan melainkan berasal
dari kebetulan itu adalah benar.
Tak heran, ketika mempelajari teori evolusi,
kita melihat bahwa teori ini dibantah oleh penemuan-penemuan ilmiah. Konstruksi
kehidupan ini benar-benar rumit. Dalam alam benda mati misalnya, kita dapat
melihat betapa sensitifnya keseimbangan atom. Kita dapat mengamati dalam
konstruksi kompleks yang di dalamnya atom-atom tersebut menyatu. Bagaimana luar
biasanya mekanisme dan struktur protein, enzim, dan sel.
Konstruksi yang luar biasa dalam kehidupan ini
mematahkan teori Darwin di akhir abad ke-20.
Kita telah membahas masalah ini secara detail
dalam beberapa studi lainnya, dan masih akan terus dibahas lagi. Bagaimanapun
juga, kami memganggap bahwa akan sangatlah membantu jika dibuat ringkasan
tentang subjek yang penting ini.
Runtuhnya Keilmiahan Darwinisme
Meskipu doktrinnya bermula sejak zaman Yunani
kuno, teori Evolusi dimodifikasi pada abad ke-19. Perkembangan terpenting yang
membuat teori ini menjadi topik yang paling terkenal di dunia sains adalah buku
Charles Darwin yang berjudul “The Origin of Species” (Asal Usul Spesies) yang
diterbitkan di tahun 1859. Di dalam buku ini, Darwin menafikan bahwa spesies
hidup yang berbeda di bumi ini diciptakan secara terpisah sendiri oleh Tuhan. Menurut
Darwin, semua makhluk hidup memiliki nenek moyang yang sama dan mereka
dianekaragamkan selama beberapa waktu melalui pengubahan secara
berangsur-angsur.
Teori Darwin tidak didasarkan pada penemuan
ilmiah yang konkrit. Sebagaimana yang dikatakan Darwin, teori tersebut hanyalah
sebuah asumsi. Terlebih lagi, ia menyatakan dalam salah satu bab dalam bukunya
yang berjudul “Kesulitan Teori ini” bahwa teori ini jatuh karena banyaknya
pertanyaan yang kritis.
Darwin menginvestigasi semua kemungkinan dalam
penemuan ilmiah baru yang diharapkannya dapat menyelesaikan kesulitan teori
ini. Namun sebaliknya, penemuan-penemuan ilmiah memperluas dimensi kesulitan
tesebut.
Kekalahan Darwinisme oleh sains dapat dilihat
lagi pada tiga hal mendasar:
1.
Dengan cara apapun, teori tersebut tidak mampu menjelaskan
bagaimana kehidupan bermula di bumi.
2.
Tidak ada penemuan ilmiah yang menujukkan bahwa ‘mekanisme
evolusi’ yang diajukan oleh teori tersebut. Temuan itu pun tidak memiliki kekuatan
untuk berevolusi sama sekali.
3.
Catatan fosil benar-benar menunjukkan kebalikan dari teori
evolusi.
Dalam bagian ini kita akan mempelajari tiga hal
dasar dalam bahasan umum:
Asal Usul Kehidupan
Teori evolusi menyatakan bahwa semua spesies
makhluk hidup berevolusi dari sebuah sel tunggal hidup yang ada di bumi purba
3,8 miliar tahun yang lalu, di mana sebuah sel dapat menghasilkan miliaran
spesies hidup yang kompleks. Jika evolusi itu benar-benar terjadi, mengapa
jejaknya tidak terdapat dalam catatan fosil. Ini merupakan pertanyaan yang tak
dapat dijawab oleh teori Darwin. Bagaimanapun juga, hal pertama dan utama yang
perlu dipertanyakan dari proses evolusi tersebut adalah: Bagaimana pertama kali
kehidupan bermula?.
Karena toeri evolusi menafikan penciptaan dan
tidak menerima intervensi supranatural apapun, teori ini tetap manganggap bahwa
sel pertama terjadi secara kebetulan karena hukum alam, tanpa perencanaan
ataupun pengaturan tertentu. Menurut teori tersebut, materi mati mestinya memproduksi
sel hidup karena kebetulan semata. Ini adalah pernyataan yang tidak konsisten
bahkan dengan hukum biologi yang paling tidak dapat disangkal.
Kehidupan Berasal dari Kehidupan
Dalam bukunya, Darwin tidak pernah mengacu
kepada asal usul kehidupan. Pada masa Darwin, pemahaman sains yang primitif
bersandarkan pada asumsi bahwa makhluk hidup memiliki struktur yang sangat
sederhana. Sejak abad pertengahan, teori penurunan spontan (spontaneous
regeneration) telah diterima oleh masyarakat luas. Teori ini menyatakan bahwa
materi tak hidup muncul bersama-sama untuk membentuk organisme hidup. Orang
percaya bahwa serangga berasal dari makanan basi, dan tikus berasal dari
gandum. Eksperimen-eksperimen yang menarik dilakukan untuk membuktikan teori
ini. Sedikit gandum diletakkan pada sepotong pakaian kotor, orang meyakini
tikus akan muncul dari sana.
Semikian pula, ulat yang muncul pada daging
diasumsikan sebagai bukti teori tersebut. Bagaimanapun juga, hanya beberapa
waktu kemudian dipahami bahwa ulat tidak muncul dengan tiba-tiba melainkan
dibawa oleh lalat dalam bentuk larva yang tidak dapat dilihat dengan mata
telanjang.
Bahkan dalam saat Darwin menulis “The Origin of
Species”, kepercayaan bahwa bakteri muncul dari materi tak hidup diterima luas
di kalangan ilmuwan.
Bagaimanapun juga, lima tahun setelah publikasi
buku Darwin, Louis Pasteur mengumumkan hasil eksperimennya setelah lama
mempelajari. Eksperimennya membantah teori “Penurunan spontan” yang merupakan
inti teori Darwin. Dalam kuliahnya yang gemilang di Sorborne pada tahun 1864,
Pasteur berkata, “Doktrin penurunan
spontan tidak akan pernah bangkit dari pukulan yang mematikan dari eksperimen
sederhana ini.”2
Para pembela teori evousi menolak penemuan
Pastueur untuk waktu yang cukup lama. Bagaimanapun, seiring perkembangan sains
mengurai kerumitan struktur sel makhluk hidup, ide bahwa kehidupan muncul
secara kebetulan itu menghadapi kebuntuan yang lebih besar lagi.
Usaha-usaha yang Tidak Meyakinkan di Abad ke-20
Para evolusionis awal yang membahas subjek
asal-usul kehidupan di abad ke-20 adalah biolog Rusia terkenal, Alexander
Oparin. Pada tahun 1930an, ia mencoba membuktikan bahwa sel makhluk hidup dapat
berasal dari kebetulan semata. Bagamanapun juga, studi ini kemudian gagal, dan
Oparin harus mengakui hal ini: “Sayangnya,
asal usul sel mungkin merupakan masalah yang paling tidak jelas di antara
keseluruhan studi evolusi organisme.3
Para evolusionis pengikut Oparin mencoba
melakukan eksperimen untuk memunculkan masalah asal-usul kehidupan. Eksperimen
yang paling terkenal dilakukan oleh seorang ahli kimia, Stanley Miller pada
tahun 1953. Ia mengkombinasikan gas-gas yang diduga keras ada pada atmosfer
bumi purba dalam sebuah eksperimen yang telah diatur sedemikian rupa. Dengan
menambahkan energi pada campuran tersebut, Miller mensintesiskan beberapa
molekul organik (asam amino) yang ada dari dalam struktur protein.
Baru saja beberapa tahun berlalu sebelum
ditemukan bahwa eksperimen yang kemudian ditunjukkan sebagai sebuah langkah
yang penting atas nama evolusi, tidaklah sah. Atmosfer yang digunakan dalam
eksperimen tersebut sangatlah berbeda dari kondisi bumi sebenarnya.4
Setelah cukup lama membisu, Miller mengatakan
bahwa media yang digunakan dalam eksperimennya tidaklah realistis.5
Semua usaha evolusionis sepanjang abad ke-20
untuk menjelaskan asal-usul kehidupan bermuara pada kesimpulan bahwa organisme
hidup yang kelihatannya sederhanapun memiliki struktur yang kompleks. Sel
makhluk hidup ternyata lebih rumit daripada semua produk teknologi yang dibuat
oleh manusia. Bahkan kini, lab yang paling modern di muka bumipun tidak dapat
menghasilkan sebuah sel hidup dengan menyatukan materi-materi tak hidup.
Kondisi yang diperlukan untuk membentuk sebuah
sel sangatlah sulit untuk dijelaskan hanya dengan peristiwa kebetulan saja.
Peluang protein (dinding pemisah sel) untuk disintesiskan secara kebetulan
adalah 1:10950, karena sebuah protein biasanya terdiri dari 500 asam amino.
Secara matematis, peluangnya kurang dari 1:1050, praktis tidak mungkin.
Molekul DNA yang tidak terdapat di dalam inti
sel dan menyimpan informasi genetis ini adalah sebuah bank data yang
menakjubkan. Diperhitungkan bahwa jika informasi yang dikodekan di dalam DNA
ditulis, maka akan memenuhi sebuah perpustakaan raksasa yang terdiri dari 900
volume ensiklopedi yang terdiri dari 500 halaman.
Dari sinilah, sebuah dilema yang menarik muncul:
DNA hanya dapat mereplika diri dengan bantuan protein-protein khusus (enzim).
Bagaimanapun, sintesa enzim-enzim tersebut hanya dapat direalisasikan dengan
informasi yang dikodekan di dalam DNA. Karena mereka bergantung satu sama
lainnya, mereka haruslah ada dalam waktu yang bersamaan untuk penggandaan
dirinya. Hal ini menimbulkan skenario bahwa kehidupan yang berawal dari dirinya
sendiri menemui kebuntuan. Prof. Leslie Orgel, seorang evolusionis dari
Universitas San Diego, California, mengakui fakta tersebut dalam sebuah majalah
sains Amerika edisi bulan September 1994,
“Benar-benar mustahil
bahwa protein dan asam nukleat, yang rumit secara struktural, muncul dengan
tiba-tiba di waktu dan tempat yang sama. Namun juga mustahil ada salah satu
saja. Dan demikianlah, sekilas saja seseorang dapat menyimpulkan bahwa
kehidupan tidak akan pernah bermula dari materi-materi kimia.”7
Tak diragukan lagi, jika kehidupan mustahil
bermula dari sebab-sebab alamiah maka harus diterima bahwa kehidupan diciptakan
secara supranatural. Fakta tersebut dengan terang-terangan mematahkan teori
evolusi yang tujuan utamanya adalah untuk menafikan fakta penciptaan.
Mekanisme Khayalan Teori Evolusi
Hal kedua yang mematahkan teori Darwin adalah
bahwa konsep yang diajukan oleh teori Evolusi sebagai ‘mekanisme evolusioner’
kenyataannya tidak memiliki kekuatan evolusi.
Darwin mendasarkan penyebutan teori evolusinya
sepenuhnya pada mekanisme ‘seleksi alam’. Pentingnya ia mengajukan mekanisme
ini adalah bukti atas nama bukunya: “The Origin of Species, By means of Natural
Selection.” (Asal Usul Spesies Melalui Seleksi Alam).
Seleksi alam meyakini bahwa benda-benda hidup yang
lebih kuat dan lebih sesuai dengan kondisi alam dalam habitat mereka akan
selamat dalam perjuangan hidupnya. Misalnya, sekawanan kijang yang terancam
serangan binatang buas. Mereka yang dapat berlari lebih kencang akan bertahan
hidup. Karena itulah, sekawanan kijang akan dibandingkan dari kecepatan dan
kekuatan masing-masingnya. Bagaimanapun juga, tak perlu dipertanyakan lagi,
mekanisme ini tidak akan menyebabkan kijang berevolusi dan mengubah diri mereka
menjadi makhluk spesies lain, misalnya kuda.
Maka dari itu, mekanisme seleksi alam tidak
memiliki kekuatan evolusioner. Darwin juga menyadari fakta ini dan menyatakan
dalam bukunya “The Origin of Species”.
Seleksi alam tidak berarti apa pun sampai muncul
perbedaan atau variasi inividual yang menguntungkan.8
Pengaruh
Lamarck
Jadi, bagaimana mungkin variasi yang
menguntungkan ini terjadi? Darwin mencoba menjawab pertanyaan ini dari sudut
pandang pemahaman sains yang primitif di masa dia hidup. Menurut biolog
Perancis, Lamarck yang hidup sebelum Darwin, makhluk hidup mewarisi sifat untuk
generasi selanjutnya yang didapatkan selama hidup mereka. Sifat yang
terakumulasi dari satu generasi ke generasi lainnya menyebabkan terbentuknya
spesies baru. Sebagai contoh, menurut Lamarck, jarapah berevolusi dari antelop.
Karena mereka berusaha memakan dedaunan dari pohon yang tinggi, dari generasi
ke generasi leher mereka mulai memanjang.
Darwin juga memberikan contoh yang sama dalam
bukunya, “The Origin of Species”, misalnya dikatakan bahwa beberapa beruang
yang masuk ke dalam air untuk mencari makanan berubah bentuk menjadi ikan paus
setelah beberapa lama.9
Bagaimanapun juga, hukum pewarisan yang
ditemukan oleh Mendel dan dikuatkan oleh ilmu generika yang ditemukan di abad
ke-20 benar-benar menghancurkan legenda bahwa sifat pembawaan diwariskan kepada
generasi selanjutnya. Jadi, teori seleksi alam gagal menolong mekanisme
evolusionis.
Neo-Darwinisme
dan Mutasi
Untuk mencari jalan keluar, pada akhir tahun
1930an para Darwinis mengembangkan “Teori Sintesis Modern” atau yang biasanya
dikenal sebagai Neo-Darwinisme. Teori ini menambahkan mutasi, yaitu
penyimpangan yang terjadi pada gen makhluk hidup karena faktor-faktor eksternal
seperti radiasi atau kesalahan replika sebagai “penyebab variasi yang
menguntungkan” dalam penambahan pada mutasi natural.
Kini, model yang berdasar pada evolusi adalah
Neo-Darwinisme. Teori ini mempertahankan bahwa jutaan makhluk hidup yang ada di
bumi terbentuk sebagai hasil dari proses yang darinya sejumlah
organisme-organisme rumit seperti telinga, mata, jantung, dan sayap, mengalami
mutasi (kekacauan genetis). Namun, ada fakta ilmiah yang sama sekali palsu, dan
benar-benar meruntuhkan teori ini. Mutasi tidak menyebabkan munculnya makhluk
hidup. Sebaliknya, mutasi selalu membahayakan makhluk hidup.
Alasannya sangat sederhana: DNA memiliki
struktur yang sangat rumit dan efek acak pada DNA tersebut hanya akan
membahayakan. Ahli genetika Amerika, B. G. Ranganathan menjelaskan hal tersebut
sebagai berikut:
“Pertama, mutasi asli
sangatlah jarang terjadi di alam ini. Kedua, kebanyakan mutasi berbahaya karena
perubahannya yang acak, tidak teratur dalam struktur gen. Perubahan secara acak
seperti apa pun dalam sebuah sistem yang sangat teratur akan mengakibatkan
perubahan yang sangat buruk, tidak akan lebih baik. Sebagai contoh, jika gempa
mengguncangkan sebuah struktur yang sangat teratur seperti sebuah bangunan,
tidak akan ada perubahan secara acak atas bangunan tersebut dengan segala
kemungkinannya, dan tidak akan terjadi perbaikan.”10
Tak mengherankan, tak ada satu pun ditemukan
mutasi yang berguna, yaitu yang menghasilkan kode genetik. Semua mutasi telah
terbukti membahayakan. Telah dimengerti bahwa mutasi yang diajukan sebagai
“Mekanisme evolusi” sebenarnya adalah sebuah perisitwa genetis yang
membahayakan makhluk hidup, dan menjadikan mereka cacat. (Pengaruh mutasi yang
paling sering terjadi pada manusia adalah kanker). Tak disangsikan lagi,
mekanisme destruktif tidak mungkin menjadi sebuah “mekanisme evolusioner”.
Sebaliknya, seleksi natural “tidak dapat melakukan apa pun” seperti yang juga
diterima oleh Darwin. Fakta ini menunjukkan kepada kita bahwa tidak ada
“mekanisme evolusioner” di alam. Karena tidak ada mekanisme evolusioner, tidak
ada proses khayalan apa pun yang disebut evolusi itu pernah terjadi.
Catatan Fosil: Tidak Ada Tanda Bentuk-Bentuk Peralihan
Catatan fosil merupakan bukti yang paling jelas
bahwa skenario yang dibuat oleh teori evolusi tidaklah berlaku.
Menurut teori evolusi, setiap spesies hidup
telah bersumber dari pendahulunya. Spesies yang ada sebelumnya berubah menjadi
spesies lain selama beberpa waktu dan semua spesies muncul dengan cara
demikian. Menurut teori tersebut, perubahan bentuk ini berlangsung secara
berangsur-angsur selama jutaan tahun.
Jika demikian halnya, maka sejumlah spesies peralihan
harusnya ada dan hidup pada masa perubahan bentuk yang lama ini.
Sebagai contoh, sejumlah reptil setengah ikan
yang menghasilkan sejumlah ciri reptil sebagai tambahan dari ciri-ciri ikan
yang ada pada mereka, seharusnya hidup di masa lalu. Atau harusnya ada sejumlah
burung-reptil yang menghasilkan ciri-ciri burung dalam ciri-ciri reptil yang
ada. Karena makhluk-makhluk ini ada dalam fase peralihan, mereka seharusnya
cacat, tidak sempurna, dan timpang. Para evolusionis menunjuk pada
makhluk-mahkluk khayalan yang mereka yakini hidup di masa lalu sebagai
bentuk-bentuk peralihan ini.
Jika binatang-binatang yang demikian pernah
benar-benar hidup, seharusnya jumlah dan jenis mereka miliaran. Terlebih lagi,
sisa-sisa makhluk aneh ini harusnya ada dalam catatan fosil. Dalam “The Origin
of Species”, Darwin menjelaskan,
“Jika teori saya benar,
makhluk jenis peralihan yang tidak ditemukan –yang menghubungkan semua spesies
dalam kelompok yang sama ini haruslah ada. Oleh karena itu, bukti keberadaan
mereka dulu dapat ditemukan hanya di antara sisa-sisa fosil.”11
Harapan
Darwin Hancur
Bagaimanapun juga, para evolusionis telah
melakukan usaha yang sangat keras untuk menemukan fosil di seluruh dunia sejak
pertengahan abad ke-19, namun tidak ada bentuk peralihan yang ditemukan. Tidak
sesuai dengan harapan para evolusionis, semua fosil yang digali menunjukkan
bahwa kehidupan muncul di bumi dengan tiba-tiba dan terbentuk dengan sempurna.
Seorang paleontolog Inggris terkenal, Derek V.
Ager, mengakui fakta ini, walaupun ia adalah seorang evolusionis,
“Masalah muncul saat kita memperlajari
catatan fosil secara terperinci, baik dalam tingkat urutan ataupun spesiesnya.
Kita akan menemukan bukan evolusi yang berangsur-angsur melainkan ledakan
tiba-tiba sekelompok makhluk hidup saat makhluk jenis lain menghilang.”12
Ini berarti bahwa catatan fosil semua spesies
hidup tiba-tiba muncul dalam bentuk yang sempurna, tanpa adanya bentuk-bentuk
peralihan di antaranya. Ini adalah kebalikan asumsi Darwin. Juga menjadi bukti
yang kuat bahwa mahkluk hidup adalah diciptakan. Satu-satunya penjelasan dari
munculnya spesies makhluk hidup secara tiba-tiba dan sempurna tanpa adanya
bentuk-bentuk peralihan di antaranya adalah bahwa makhluk-makhluk tersebut
diciptakan. Ini adalah kebalikan dari asumsi Darwin. Ini juga merupakan bukti
yang kuat bahwa makhluk hidup itu diciptakan. Satu-satunya penjelasan yang
memungkinkan dari munculnya makhluk hidup secara tiba-tiba dan dalam bentuk
sempurna tanpa nenek moyang evolusioner adalah bahwa spesies tersebut
diciptakan. Fakta ini juga diakui oleh biolog evolusionis, Douglas Futuyma,
“Antara ciptaan dan
evolusi ada penjelasan yang mungkin atas asal-usul makhluk hidup. Organisme
yang muncul di bumi berkembang dengan sempurna. Jika mereka tidak berkembang
sempurna, mereka pasti berkembang dari spesies yang belum ada melalui beberapa
proses modifikasi. Jika mereka muncul dalam bentuk yang sempurna, sesungguhnya
mereka tercipta oleh sebuah kekuatan cerdas Yang Maha Kuasa.”13
Fosil-fosil menujukkan bahwa makhluk-makhluk
hidup muncul di bumi dalam bentuk sempurna dan maju. Itu berarti bahwa
“Asal-Usul Spesies” adalah berlawanan dengan anggapan Darwin, bukan disebabkan
oleh proses evolusi melainkan karena ciptaan.
Dongeng Evolusi Manusia
Masalah yang sering dimunculkan untuk membela
teori evolusi adalah masalah asal-usul manusia. Klaim para Darwinis menyatakan
bahwa manusia modern masa kini berevolusi dengan makhluk sejenis kera. Selama
proses evolusi yang diperkirakan dimulai sekitar 4-5 tahun yang lalu, diklaim
bahwa ada beberapa bentuk transisi antara manusia modern dan nenek moyangnya.
Menurut skenario evolusiner khayalan ini, empat kategori dasarnya adalah:
1.
Austrapithecus
2.
Homo Habilis
3.
Homo Erectus
4.
Homo Sapiens
Para evolusionis menamakan nenek moyang manusia
yang mirip kera ini dengan nama “austrapithecus” yang berarti “kera arika
Utara”. Makhluk jenis ini sebenarnya tak lain adalah spesies kera purba yang
sudah punah. Riset terhadap berbagai spesimen Austrapithecus yang dilakukan dua
ahli anatomi terkenal dari Inggris dan Amerika bernama Lord Solly Zuckerman dan
Prof. Charles Oxnard telah menunjukkan bahwa tulang belulang itu adalah milik
spesies kera biasa yang telah punah dan tidak memiliki kemiripan dengan
manusia.14
Para evolusionis mengklasifikasikan tingkatan
evolusi manusia berikutnya sebagai “homo”, yang berarti “manusia”. Menurut
klaim evolusionis, makhluk hidup dalam rangkaian homo lebih maju dibandingkan
dengan Austrapithecus. Para evolusionis merencanakan sebuah skema evolusi yang
menggelikan dengan mengatur fosil-fosil yang berbeda dari sejenis kera dalam
urutan-urutan tertentu. Skema ini adalah khayalan karena tidak pernah terbukti
bahwa ada sebuah hubungan evolusi antara kelas-kelas makhluk yang berbeda ini.
Ernst Mayr, salah seorang pendukung teori evolusi menuliskan sebuah argumen
yang panjang dalam bukunya, bahwa “terutama sekali teka-teki sejarah seperti
asal usul kehidupan atau homo sapiens benar-benar sulit dan bahkan dapat
menentang sebuah penjelasan yang sudah final dan memuaskan”.15
Dengan mengggarisbawahi rangkaian hubungan
dengan “Austrapithecus> Homo Habilis> Homo Erectus> Homo Sapiens”,
para evolusionis menyatakan secara tidak langsung bahwa tiap spesies tersebut
adalah nenek moyang satu sama lain. Bagaimanapun juga, penemuan terbaru para
paleontologis telah menunjukkan bahwa Austrapithecus, homo habilis, dan homo
erectus hidup di bagian bumi yang berbeda pada saat yang bersamaan.16
Terlebih lagi, bagian tertentu manusia yang
dikasifikasikan sebagai homo erectus hidup sampai masa yang sangat modern. Homo
sapiens neanderthalensis dan homo sapiens (manusia modern) hidup bersamaan di
daerah yang sama.17
Keadaan ini cenderung mengindikasikan tidak
sahnya pernyataan yang menyebutkan bahwa mereka adalah nenek moyang bagi satu
sama lain. Seorang palaentolog dari Universitas Harvard, Stephen Jay Gould
menjelaskan kebuntuan teori evolusi meskipun dirinya adalah seorang
evolusionis:
“Apa yang bisa menolong
kita jika ada 3 keturunan hominid (Austrapithecus Africanus, The robust
austrapithecines, homo habilis) yang hidup bersamaan, dan tak ada satu pun yang
berasal dari yang lain? Terlebih lagi, tak ada satu pun dari ketiganya
menujukkan kecenderungan evolusioner selama hidup mereka di bumi.”18
Singkatnya, skenario evolusi manusia yang dibuat
dengan bantuan beragam gambar makhluk-makhluk “setengah kera-setengah manusia”
yang muncul di media dan buku-buku, semua itu jelas-jelas hanya merupakan alat
propaganda dan dongeng tanpa dasar ilmiah sama sekali.
Lord Solly Zuckerman, salah seorang ilmuwan yang
terkenal dan dihormati di Inggris yang melakukan riset terhadap subjek ini
selama bertahun-tahun dan secara khusus mempelajari fosil Austrapithecus selama
15 tahun, meskipun ia sendiri adalah evolusionis akhirnya berkesimpulan bahwa
faktanya tidak ada garis keturunan dari makhluk sejenis kera kepada manusia.
Zuckerman juga membuat sebuah “spektrum sains”
yang menarik. Ia membentuk sebuah spektrum sains yang membentang dari apa-apa
yang cenderung ilmiah sampai apa-apa yang cenderung tidak ilmiah. Menurut
spektrum Zuckerman, yang paling ilmiah bergantung pada lapangan data sains
adalah kimia dan fisika. Setelah itu ilmu biologi, terakhir ilmu pengetahuan
sosial. Jauh di akhir spektrum, yang merupakan bagian yang dianggap paling
tidak ilmiah adalah “persepsi inderawi-ekstra”, yaitu konsep seperti telepati,
indera keenam dan “evolusi manusia”. Zuckerman menjelaskan alasannya:
“Kita kemudian mulai pada
tingkat kebenaran objektif tentang hal-hal yang dianggap sebagai ilmu biologi,
seperti persepsi inderawi-ekstra atau interpretasi sejarah fosil manusia, yang
bagi evolusionis sejati apa pun mungkin saja terjadi, dan yang bagi orang yang
meyakini evolusionis terkadang dapat mempercayai beberapa pertentangan
sekaligus.”19
Dongeng evolusi manusia tidak membahas apa pun
kecuali interpretasi bohong terhadap beberapa fosil yang digali oleh
orang-orang yang setia pada teori mereka.
Teknologi
Pada Mata dan Telinga
Masalah lain yang tetap tidak terjawab oleh
teori evolusi adalah sifat-sifat sempurna dari persepsi mata dan telinga.
Sebelum memasuki pembahasan mengenai mata, mari
sekilas kita jawab pertanyaan “bagaimana kita melihat”. Cahaya datang dari
sebuah objek yang jatuh berseberangan dengan retina mata. Disinilah cahaya
ditransmisikan menjadi sinyal elektris oleh sel dan kemudian mencapai titik
kecil di belakang otak yang disebut pusat pengelihatan. Sinyal-sinyal elektris
ini diterima di pusat otak sebagai sebuah imej (gambar) setelah melalui
serangkaian proses. Dengan latar belakang teknik ilmiah, kita berpikir.
Otak terisolasi dari cahaya. Itu berarti bahwa
di dalam otak situasinya benar-benar gelap, dan cahaya tidak sampai ke otak.
Yang dinamakan pusat pengelihatan adalah sebuah tempat yang benar-benar pekat
dimana tak ada cahaya yang dapat masuk. Mungkin otak adalah tempat paling gelap
yang pernah kita tahu. Anda mengamati dunia yang terang benderang dalam
kegelapan total ini.
Gambar yang terbentuk di dalam mata sangatlah
tajam dan jelas, bahkan teknologi abad ke-20 sekalipun tidak dapat menciptakan gambar
yang sedemikian jelas. Sebagai contoh, buku yang Anda baca, tangan yang Anda
pakai untuk memegangnya. Coba Anda angkat kepala dan lihatlah sekeliling Anda.
Pernahkah anda melihat sebuah gambar setajam dan sejelas itu di tempat lain?
Bahkan layar TV tercanggih yang dihasilkan oleh pabrik TV terbesar di dunia
sekalipun, tidak dapat menghasilkan sebuah gambar yang tajam. Gambar yang
didapat dari mata ini adalah gambar tiga dimensi yang berwarna dan sangat
tajam. Lebih dari seratus tahun ratusan insinyur telah mencoba mendapatkan
ketajaman gambar seperti ini. Pabrik-pabrik dan gedung-gedung raksasa dibangun,
banyak riset dilakukan, rencana dan desain telah dibuat untuk tujuan ini.
Sekali lagi, lihatlah layar TV dan buku yang Anda pegang. Anda akan melihat ada
perbedaan yang sangat mencolok pada ketajaman dan kejelasannya. Terlebih lagi,
layar TV hanya dapat memberikan gambar tiga dimensi, sementara dengan mata Anda
bisa melihat perspektif tiga dimensi yang memiliki kedalaman.
Selama bertahun-tahun, puluhan dari ratusan
insinyur telah mencoba membuat TV tiga dimensi, dan mencapai kualitas gambar
seperti yang dihasilkan oleh mata. Ya, mereka berhasil membuat TV tiga dimensi,
tetapi tak mungkin melihatnya tanpa menggunakan kacamata. Terlebih lagi, gambar
tersebut hanyalah gambar tiga dimensi buatan. Latarnya lebih buram, gambar
depannya muncul seperti latar kertas. Tidak mungkin menghasilkan gambar yang
tajam dan jelas seperti yang dihasilkan oleh mata. Kamera maupun TV tidak
sempurna kualitas gambarnya.
Para evolusionis mengklaim bahwa mekanisme yang
memproduksi gambar yang tajam dan jelas ini terbentuk secara kebetulan.
Sekarang, jika seseorang mengatakan bahwa TV di ruangan Anda terbentuk secara
kebetulan, bahwa semua atom yang membentuknya terjadi begitu saja, bersatu
menciptakan alat-alat yang memproduksi gambar ini, bagaimanakah menurut Anda?
Bagaimana mungkin atom-atom tersebut melakukan apa yang tidak bisa dilakukan
manusia?
Jika sebuah alat yang menghasilkan sebuah gambar
saja tidak mungkin terjadi secara kebetulan, maka ini adalah bukti yang sangat
kuat bahwa mata dan gambar yang terlihat oleh mata tidak mungkin terbentuk
secara kebetulan. Hal yang sama terjadi pada telinga kita. Telinga bagian luar
menangkap suara yang ada dengan daun telinga dan mengirimkannya ke telinga
bagian tengah, kemudian getaran suara ini dikirimkan dengan menguatkannya.
Telinga bagian dalam mengirim getaran ini ke otak dengan menguatkannya menjadi
sinyal-sinyal elektrik. Seperti halnya mata, tindakan mendengar berakhir di
pusat pendengaran di otak.
Hal yang terjadi pada mata juga terjadi pada
telinga. Otak terisolasi dari suara seperti halnya cahaya; tak ada suara di
dalam otak. Karena itu, tak peduli betapa bisingnya di luar, di dalam otak
benar-benar hening. Meski demikian, suara-suara yang paling tajam diterima di
otak. Di dalam otak Anda yang terisolasi dari suara, Anda mendengarkan simfoni
sebuah orkerstra, dan semua kebisingan di tempat ramai. Bagaimanapun juga, jika
tingkat suara di dalam otak Anda diukur dengan alat pengukur pada saat itu,
akan terlihat bahwa otak Anda benar-benar sunyi.
Seperti halnya gambar, telah dilakukan
usaha-usaha selama beberapa dekade untuk menghasilkan suara yang benar-benar
asli. Hasilnya adalah rekaman suara, sistem rekaman yang sangat teliti dan
asli, serta sistem untuk mendeteksi suara. Meskipun semua teknologi ini dan
ratusan insinyur serta ahli telah berusaha keras, tak ada satu pun suara yang
dihasilkan memiliki ketajaman dan kejernihan suara yang diterima oleh telinga.
Coba pikirkan sistem rekaman dengan kualitas terbaik yang dihasilkan perusahaan
industri musik terbesar. Bahkan dengan peralatan itu, ketika suara direkam,
sebagiannya ada yang hilang. Atau jika Anda menyalakan sebuah rekaman, Anda
akan selalu mendengar suara mendesis sebelum musik dimulai. Bagaimanapun,
suara-suara yang dihasilkan oleh tubuh manusia benar-benar tajam dan jelas.
Telinga manusia tidak pernah menerima suara yang disertai desisan seperti
halnya rekaman. Telinga manusia menerima suara tepat seperti suara itu, tajam
dan jernih. Demikianlah yang terjadi sejak penciptaan manusia.
Sejauh ini, tak ada alat penghasil gambar dan
perekam yang diproduksi manusia memiliki data sensor yang sesensitif dan
sehebat mata dan telinga manusia.
Bagaimanapun juga, semakin kita mengamati
tindakan melihat dan mendengar, semakin besar fakta yang tersembunyi di balik
hal-hal tersebut.
Milik Siapakah Kesadaran yang Melihat dan
Mendengar Di dalam Otak?
Siapakah yang mengamati sebuah dunia yang
memikat di dalam otak, mendengarkan simfoni dan kicau burung, serta harumnya
mawar?
Rangsangan yang datang dari mata, telinga, dan
hidung manusia berjalan ke otak sebagai impuls syaraf elektris-kimiawi. Dalam
ilmi biologi, psikologi, dan biokimia, Anda dapat menemukan banyak rincian
tentang bagaimana gambar buku terbentuk di otak. Anda tidak akan pernah
menemukan fakta yang penting tentang hal ini: Siapakah yang menerjemahkan
impuls syaraf elektris-kimia ini sebagai gambar, suara, bau, dan peristiwa
sensorik di otak? Ada kesadaran di dalam otak yang menyerap semua itu tanpa
memerlukan mata, telinga dan hidung. Milik siapakah kesadaran ini? Tak ada lagi
keraguan bahwa kesadaran ini bukanlah berada di dalam saraf, lapisan tebal, dan
neuron yang membentuk otak. Inilah mengapa materialis-Darwinis yang yakin bahwa
segala sesuatu diperbandingkan dengan materi, tidak dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan ini.
Itu karena kesadaran ini adalah ruh yang dicitakan
Allah. Ruh yang tidak membutuhkan mata untuk melihat ataupun telinga untuk
mendengar suara. Lebih jauh lagi, ruh ini tidak membutuhkan otak untuk
berpikir.
Setiap orang yang membaca fakta ilmiah yang
jelas ini harus merenungkan kekuasaan Allah, harus takut dan memohon
perlindungan pada-Nya. Ia yang memasukkan seluruh alam dalam bentuk tiga
dimensi yang berwarna, berbayang dan bercahaya ini dalam sebuah tempat yang
sangat gelap sebesar hanya beberapa sentimeter kubik.
Keyakinan Materialis
Informasi yang telah kami sajikan sejauh ini
menunjukkan bahwa teori evolusi adalah sebuah penyataan yang jelas terbantah
dengan penemuan-penemuan ilmiah. Pernyataan teori ini tentang asal-usul
kehidupan adalah tidak sejalan dengan sains. Mekanisme evolusioner yang
diajukan tidak memiliki kekuatan evolusi, dan fosil yang menunjukkan bahwa
bentuk-bentuk peralihan yang diperlukan oleh teori itu tidak pernah ada. Jadi,
teori evolusi haruslah dienyahkan sebagai gagasan yang tidak ilmiah. Karena
banyak gagasan seperti model bumi sebagai pusat alam semesta telah dikeluarkan
dari agenda ilmiah sepanjang sejarah.
Teori evolusi tetap memaksa untuk menjadi agenda
ilmiah. Beberapa orang bahkan mencoba mengajukan kritik untuk menyerang sains.
Mengapa?
Alasannya adalah bahwa teori evolusi adalah
seluruh keyakinan dogmatis yang sangat diperlukan oleh sebagian orang. Mereka
dengan membabi buta mengabdi pada filasafat materialis dan mengadopsi
Darwinisme karena itu satu-satunya penjelasan yang dapat dibuat atas pertanyaan
keberadaan dan peristiwa alam.
Dengan cukup menarik, mereka juga mengatakan hal
itu dari waktu ke waktu. Seorang ahli genetik terkenal dan evolusionis yang
vokal, Richard C. Lewontin dari Universitas Harvard menyatakan bahwa dirinya
pertama-tama adalah seorang materialis, kemudian seorang “lmuwan”.
Bukanlah cara-cara dan institusi-intitusi ilmiah
yang mendorong kita untuk menerima penjelasan tentang dunia fenomena, tetapi
sebaliknya, kita dipaksa oleh ketaatan kita pada penyebab-penyebab yang
bersifat materi untuk menciptakan alat investigasi dan membuat konsep-konsep
yang menghasilkan penjelasan-penjelasn yang bersifat material, tak peduli
betapa kontra-intuitif dan membingungkannya orang-orang yang belum tahu.
Terlebih lagi, bahwa materialisme adalah absolut sifatnya, jadi kita tidak
memasukkan Tuhan di dalamnya.20
Ini adalah pernyataan yang eksplisit bahwa
Darwinisme adalah dogma yang tetap hidup hanya demi kepatuhan pada filsafat
materialis. Dogma ini mempertahankan bahwa tidak ada makhluk yang menolong
materi. Karena itu, dogma ini bertahan bahwa materi yang tidak hidup dan tidak
memiliki kesadaran telah menciptakan kehidupan. Teori ini tetap “ngotot” bahwa
jutaan spesies hidup yang berbeda; misalnya burung, ikan, jerapah, macan,
serangga, pohon, bunga, ikan paus, dan manusia berasal dari interaksi antara
materi seperti hujan, kilat, dan sebagainya, yaitu berasal dari benda mati. Ini
adalah ajaran yang berawanan dengan akal dan sains. Namun Darwinisme tetap
membelanya begitu saja demi tidak memasukkan campur tangan Tuhan di dalamnya.
Siapa pun yang tidak melihat asal-usul makhluk
hidup dengan prasangka materialis, akan melihat bahwa bukti ini benar. Semua
makhluk hidup adalah karya Sang Pencipta Yang Maha Kuasa, Mahabijaksana, dan
Maha Mengetahui. Pencipta ini adalah Allah Yang Menciptakan seluruh alam
semesta dari ketiadaan, merencanakannya dalam bentuk yang sebaik-baiknya, dan
melengkapi semua makhluk hidup.
“Mereka
menjawab, ‘Maha suci Engkau ,
tidak ada
yang kami ketahui selain dari apa yang
telah
Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya
Engkaulah
Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana”.
(al-Baqarah:
32)
CATATAN
KAKI
1.
Hugh Ross, The Fingerprint of God, p.50
2.
Sidney Fox, Klaus Dose, Molecular Evolution and The Origin
of Life, W. H. Freeman and Company, San Fransisco, 1972, p.4
3.
Alexander I. Oparin, The Origin of Life, Dover Publications,
New York, 1936, 1953 (reprint), p. 196.
4.
“New Evidence of Evolution of Early Atmosphere and Life”,
Bulletin of the American Meteorogical Society, vol 63, November 1982, p.
1328-1330.
5.
Stanley Miller, Molecular Evolution of Life: Current Status
of the Prebiotic Synthesis of Small Molucules, 1986, p.7
6.
Jeffrey Bada, Earth, February 1998, p.40.
7.
Leslie E. Orgel, “The Origin of Life on Earth”, Scientific
American, vol 271, October 1994, p. 78.
8.
Charles Darwin, The Origin of Species bu Means of Natural
Selection, The Modern Library, New York, p. 127.
9.
Charles Darwin, The Origin of Species: A Facsimile of the
First Edition,Harvard University Press, 1964, p. 184
10.
B. G. Ranganathan, Origins?, Pennsylvania: The Banner of
Truth Trust. 1988, p.7
11.
Charles Darwin, The Origin of Species: A Facsimile of the
First Edition, Harvard University Press, 1964, p. 179
12.
Derek A. Ager, “The Nature of the Fossil Record”,
Proceedings of the British Geological Association, vol 87, 1976, p. 133.
13.
Douglas Futuyma, Science on Trial, Pantheon Books, New York,
1983, p. 197.
14.
Solly Zuckerman, Beyond the Ivory Tower, Toplinger
Publications, New York, 1970, p. 75-94; Charles E. Oxnard, “The Place of
Australopithecus in Human Evolution: Grounds for Doubt”, Nature, vil. 258, p.
389.
15.
“Sould Science be Brought to End by Scientist’ Belief that
they have final answers or by society’s Reluctance to Pay the bills?” Scientific
American, December 1992, p. 20.
16.
Alam Walker, Science, vol. 207, 7 March 1980, p. 11103; A.
J. Kelso, Physical Antropology, 1st ed. J. B. Lipincott Co., New
York 1970, p. 221; M. D. Leakey, Olduvai Gorge, vol 3, Cambridge University
Press, Cambridge, 1971, p. 272.
17.
Jeffrey Kluger, “Not So Extinct After All: The Primitive
Homo Erectus May Have Survived Long Enough To Coexist With Modern Humans,”
Time, 23 December 1996.
18.
S. J. Gould, Natural History, vol. 85, 1976, p.30.
19.
Solly Zuckerman, Beyond the Ivory Tower, p. 19.
20.
Richard Lewontin, “The Demon-Haunted World,” The New York
Review of Books, january 9, 1997, p. 28.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar