Kenikmatan adalah sebuah keniscayaan,
selalu dieja, dirajut, didamba,
tanpa ruang dan waktu.
Enaaaak Tenan, begitu sepenggal kata Timbul dalam mengiklankan produk jamu. Enak
kata salah seorang pelawak terkenal itu, tentu berbeda dengan kenyataan rasa
jamu yang diiklankan. Enak, dalam konteks ini, adalah realitas kata yang
imajinatif dan konstruktif, mampu membangunkan sugesti konsumen.
Meskipun cenderung mendikotomikan antara seksualitas dan kenikmatan, seks
tak ubahnya sebagai jamu yang mencerminkan rasa. Seksualitas dapat dipandang
sebagai dunia religius, dunia substansial, sekaligus sebagai sebuah dunia yang
mengagungkan aspek-aspek fisik, wadag. Dalam pandangan kejawen, seks adalah
representasi dunia batin yang terdalam dan transenden. Seks tidak hanya
bermakna biologis semata, melainkan justru lebih sebagai aktivitas spiritual.
Oleh sebab itu, ritualisme seks selalu berada di ranah domestik. Sebuah
domestikasi yang mengartikan sebuah kesadaran akan nilai-nilai tertentu. Di
ruang domestik itu sebenarnya manusia memiliki kebebasan ekspresi dan imajinasi
sebagai seorang makhluk. Tidak hanya kejawen, Asikalaibineng (Bugis), Kama
Sutra (India), the Art of Love (Romawi) dan Suluh
Pegawai (Melayu) adalah sederet teks dari tempat lain yang merumuskan
betapa pentingnya keterpaduan pasangan, keterlibatan emosi, dan keseimbangan
capaian kenikmatan dalam setiap hubungan seksual.
Tetapi, sebagai yang memuat bulir-bulir imajinasi, kenikmatan seksual tidak
berada di ruang kosong, independen. Ia selalu menghadirkan intervensi bahkan
dari yang paling profan sekalipun seperti kepentingan ekonomi dan politik.
Itulah sebabnya, mengapa ada konstruksi seksualitas yang menekankan aspek-aspek
fisik dan biologis yang menggiring nalar untuk larut dalam imajinasi tentang
seksualitas dan hubungan seksual yang wadag. Panjang, besar, sempit, wangi,
langsing, cantik, dan tahan lama selalu muncul sebagai ideal tubuh dan
seksualitas.
Kenikmatan seksual tidak hanya dimonopoli oleh tubuh laki-laki dan
perempuan yang berpadu secara religius. Kenikmatan seksual juga dicengkeram
oleh kekuatan-kekuatan eksternal seperti pasar, agama, dan negara. Sebagai
aktor kuasa, pasar, agama, dan negara secara intens membangun konstruksi
tentang kenikmatan dengan kepentingan dan ideologi yang berbeda. Dalam banyak
kasus, relasi kuasa empat kekuatan tersebut menunjukkan
kontradiksi-kontradiksi, tetapi juga acapkali memperlihatkan kelindan-kelindan
yang saling berpeluk mesra.
Begitu kuat tarikan kekuatan-kekuatan eksternal tersebut, sehingga tidak
mustahil jika individu pelaku seksual larut dalam genggaman di luar dirinya.
Masihkah hubungan seksual kembali menjadi milik individu, termasuk dalam
menentukan ukuran-ukuran kenikmatannya? Independensi seksualitas memang tetap
penting, dan politik kenikmatan hanya akan memerosokkan kehormatan seksualitas
ke dalam lembah yang tak terlihat dasarnya.
Sumber : Novi Anoegrajekti
Gambar : @kenikmatan_tiga. JALAN-JALAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar