Keikhlasan Dalam Telaah
Al-Qur`an
“Sesungguhnya, Kami menurunkan kepadamu
Kitab (Al-Qur`an)
dengan (membawa) kebenaran. Maka,
sembahlah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepadanya.
Ingatlah, hanya kepunyaan
Allahlah agama yang bersih (dari
syirik)....”
(az-Zumar [39]: 2-3)
Kita ambil contoh dua orang manusia.
Asumsikanlah bahwa mereka berdua diberikan kesempatan yang cukup di dunia ini
untuk merasakan kesenangan dari Allah dan bahwa mereka telah diberitahu mana
yang baik dan mana yang buruk. Mereka memenuhi tugas-tugas dan kewajiban agama
hingga hari kematian mereka dan menghabiskan hidup mereka sebagai muslim yang
taat. Mereka sukses dalam berbagai bidang. Memiliki pekerjaan yang bagus,
keluarga yang harmonis, dan menjadi anggota masyarakat yang terhormat. Jika
orang ditanya, siapakah yang paling sukses di antara kedua orang tersebut,
mereka mungkin menjawab, “Orang yang bekerja lebih keras.” Akan tetapi, jika
jawaban ini diperhatikan dengan saksama lagi, kita akan menyadari bahwa
definisi-definisi sukses tersebut tidak berdasarkan Al-Qur`an, tetapi atas
dasar kriteria duniawi.
Menurut Al-Qur`an, bukanlah kerja keras,
bukan kelelahan, bukan pula mencapai penghormatan atau cinta dari orang lain
yang disebut sebagai kriteria keunggulan, melainkan keyakinan mereka akan Islam,
amal baik yang mereka kerjakan untuk mendapatkan keridhaan Allah, dan niat baik
mereka yang terpelihara dalam hati. Itulah yang disebut kriteria yang unggul di
hadapan Allah. Allah menyatakan hal ini di dalam Al-Qur`an,
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat
mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan dari kamulah yang dapat
mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu
mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira
kepada orang-orang yang berbuat baik.” (al-Hajj [22]: 37)
Keikhlasan berarti memenuhi perintah
Allah tanpa mempertimbangkan keuntungan pribadi atau balasan apa pun.
Seseorang yang ikhlas akan berpaling kepada Allah dengan hatinya dan hanya
ingin mendapatkan ridha-Nya atas setiap perbuatan, langkah, kata-kata, dan
do’anya. Jadi, ia benar-benar yakin kepada Allah dan mencari kebajikan semata.
Menurut Al-Qur`an,
“... Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya, Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (al-Hujurat [49]: 13)
Dalam banyak ayat Al-Qur`an, ditekankan
agar perbuatan baik itu dilakukan hanya untuk mendapatkan keridhaan Allah. Akan
tetapi, beberapa orang berusaha untuk mengabaikan kenyataan ini. Mereka tidak
pernah berkaca pada kebersihan niat di dalam hati mereka saat melakukan suatu
pekerjaan, memberi nasihat, menolong orang, atau berkorban. Mereka percaya
bahwa perbuatan mereka sudah cukup, dengan menganggap bahwa mereka telah
menunaikan tugas agama. Di dalam Al-Qur`an, Allah mengatakan kepada kita
tentang mereka yang berusaha sepanjang hidupnya, namun sia-sia. Jika demikian
halnya, mereka akan dihadapkan pada situasi berikut ini di hari pembalasan.
“Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras
lagi kepayahan.” (al-Ghaasyiyah [88]: 2-3)
Karena itulah, manusia akan menghadapi
satu dari dua situasi tersebut di hari akhir. Dua orang yang telah mengejar
pekerjaan yang sama, mencurahkan usaha yang sama, dan bekerja dengan kebulatan
hati yang sama sepanjang hidup mereka, bisa mendapatkan perlakuan yang berbeda
di hari akhir. Mereka yang membersihkan dirinya akan dibalas dengan kebahagiaan
surga yang memikat, sedangkan mereka yang meremehkan nilai keikhlasan saat
berada di dunia ini akan mengalami penderitaan neraka yang tiada akhir.
Di dalam buku ini, kita akan mengacu pada
dua aspek keyakinan yang mengubah perbuatan yang dilakukan seseorang menjadi
berarti dan bernilai dalam pandangan Allah, yakni dengan pembersihan diri dan
keikhlasan. Buku ini bertujuan untuk mengingatkan mereka yang gagal menjalani
hidup mereka hanya untuk keridhaan Allah, mengingatkan bahwa semua usaha mereka
sia-sia. Karena itu, buku ini mengajak mereka untuk membersihkan diri mereka
sebelum datangnya hari pembalasan. Sebagai tambahan, kami juga ingin—sekali
lagi—mengingatkan semua orang beriman bahwa pikiran, perkataan, atau perbuatan
apa pun yang dapat mengurangi keikhlasan seseorang, memiliki konsekuensi yang
besar karena konsekuensi-konsekuensi yang mungkin muncul di hari akhir. Karena
itulah, kami ingin menunjukkan semua jalan untuk menjaga keikhlasan mereka
dengan cahaya yang ditebarkan oleh ayat-ayat Al-Qur`an.
Bab II
Seperti Apakah Orang yang Benar
Itu?
Allah memerintahkan kepada orang-orang
beriman untuk hidup sebagai orang yang teguh dan
ikhlas kepada Allah dalam agama mereka.
“Kecuali orang-orang yang tobat dan mengadakan perbaikan dan
berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka
karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak
Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.”
(an-Nisaa` [4]: 146)
Seorang manusia menjadi bersih hatinya
jika ia teguh karena Allah, mengabdikan hidupnya untuk mendapatkan
keridhaan-Nya dengan menyadari bahwa tidak ada penuhanan kecuali kepada Allah,
dan tak pernah menyerah dalam keimanan kepada Allah, apa pun yang terjadi.
Allah memerintahkan di dalam Al-Qur`an sebagai berikut.
“... Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah
maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Ali Imran
[3]: 101)
Dalam agama, ikhlas kepada Allah berarti
berusaha mendapatkan keridhaan Allah dan kepuasan-Nya tanpa mengharapkan
keuntungan pribadi lainnya. Allah juga telah menekankan pentingnya hal ini di
dalam ayat lainnya. Ia telah menunjukkan bahwa agama hanya dapat dijalankan
dalam sikap berikut.
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus,
dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian
itulah agama yang lurus.” (al-Bayyinah [98]: 5)
Dalam perbuatan dan ibadahnya, seorang
mukmin sejati tidak pernah berusaha untuk mendapatkan cinta, kepuasan,
penghargaan, perhatian, dan pujian dari siapa pun kecuali Allah. Adanya
keinginan untuk mendapatkan semua itu dari manusia adalah tanda bahwa ia gagal
menghadapkan wajahnya kepada Allah dengan keikhlasan dan kesucian. Dalam
kenyataan, kita sering menemukan orang yang “melakukan perbuatan-perbuatan baik
atau melakukan ibadah untuk tujuan-tujuan lain selain mendapatkan keridhaan
Allah”. Sebagai contoh, ada orang yang menyombongkan diri karena menolong kaum
miskin atau bermaksud mendapatkan kehormatan saat ia melakukan perintah agama
yang penting, seperti shalat. Orang-orang yang mendirikan shalat, melakukan kebaikan
supaya terlihat, disebutkan di dalam Al-Qur`an,
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan
(pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si
penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia
dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpaan orang itu
seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan
lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai
sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang kafir.” (al-Baqarah [2]: 264)
Siapa saja yang
menginginkan supaya dirinya terlihat menonjol, sebenarnya ia mencari keridhaan
orang lain, bukan Allah. Seorang mukmin sejati harus benar-benar cermat
menghindarkan dirinya untuk pamer saat menolong orang lain, bertingkah laku
baik, beribadah, ataupun berkorban. Satu-satunya tujuan orang yang ikhlas
beriman kepada Allah hanyalah mendapatkan keridhaan Allah. Al-Qur`an juga
menekankan bagaimana para nabi menjalankan ritual-ritual keagamaan demi
keridhaan Allah dan tidak pernah mengharapkan balasan ataupun keuntungan
pribadi. Kalimat berikut diucapkan oleh Nabi Hud a.s. kepada kaumnya untuk
meyakinkan kebenaran ini.
“Hai kaumku, aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku
ini. Upahku tidak lan hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Maka
tidakkah kamu memikirkan(nya)?” (Hud [11]: 51)
Seorang mukmin tidak pernah berusaha
mendapatkan keridhaan siapa pun selain Allah. Ia tahu pasti bahwa Allahlah yang
memiliki dan mengenggam semua hati dan bahwa semua manusia akan ridha hanya
jika Dia ridha. Lebih jauh, tidak ada pujian apa pun di dunia ini yang akan
menyelamatkan dirinya di akhirat. Pada hari pembalasan, setiap orang akan
berdiri sendiri di hadapan Allah dan ditanyai atas setiap perbuatannya. Pada
hari itu, keimanan, kesalehan, keikhlasan, dan kepatuhan akan memainkan peran
yang penting. Nabi Muhammad saw. mengingatkan orang-orang beriman akan
pentingnya keikhlasan,
“Allah menerima
perbuatan yang dilakukan secara murni karena Allah dan bertujuan untuk mencari
keridhaan-Nya.”[1]
Berpaling kepada Allah dengan Penyesalan
dan Keikhlasan dalam Niat dan Perbuatan
Allah mengatakan
kepada para mukmin sejati tentang keimanan yang murni,
“Dengan kembali bertobat kepada-Nya dan bertaqwalah
kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Allah.” (ar-Ruum [30]: 31)
Allah meminta kita untuk memperhatikan
ayat lain yang menyatakan bahwa jalan yang benar untuk diikuti adalah jalan
yang dilalui oleh para nabi dan orang-orang yang saleh.
“... dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku,
kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah
kamu kerjakan.” (Luqman [31]: 15)
Berpaling kepada Allah dengan pengabdian
sepenuh hati berarti mencintai-Nya dengan sebenar-benar cinta, sehingga
seseorang tidak dapat menjauh dari keimanan, pengabdian, dan kesetiaan dalam
kondisi apa pun, dan memiliki rasa takut kepada-Nya dan hati-hati menjaga agar
tidak kehilangan keridhaan-Nya. Dengan demikian, setiap orang yang beriman dan
tunduk patuh kepada Allah akan mendirikan shalat dan mengerjakan amalan lainnya
untuk mendapatkan keridhaan-Nya. Sebagai kesimpulan dalam hal ini, yang
merupakan dasar penyucian diri, seorang mukmin sejati adalah, “Orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh dan merendahkan diri kepada Tuhan
mereka....” (Hud [11]: 23)
Allah memerintahkan orang-orang beriman
untuk menunaikan perintah-Nya dan melakukan ibadah yang telah diuraikan di
dalam Al-Qur`an, dengan penuh kepatuhan, keikhlasan, dan hati yang dimurnikan
hanya untuk-Nya. Dalam sebuah ayat dikisahkan bagaimana Allah mengingatkan
Maryam a.s. untuk mematuhi-Nya dengan pengabdian sepenuh hati,
“Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, sujud dan rukuklah
bersama orang-orang yang rukuk.” (Ali Imran [3]: 43)
Hal ini juga dinyatakan oleh Nabi saw.,
“Kebaikan dan kenikmatan adalah bagi orang
yang menyembah Tuhan-Nya dengan sebaik-baik kepatuhan dan melayani Tuhannya
dengan tulus ikhlas.”[2] (HR Imam
Bukhari)
Allah juga memberikan
kabar gembira bahwa mereka yang menaati-Nya dengan pengabdian sepenuh hati dan
mematuhi perintah-Nya dengan ketundukan, akan diberi ganjaran yang berlipat
ganda.
“Dan barangsiapa di antara kamu sekalian
(istri-istri Nabi) tetap taat kepada Allah dan Rasul-
Nya dan mengerjakan amal yang saleh, niscaya Kami memberikan
kepadanya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan baginya rezeki yang mulia.”
(al-Ahzab [33]: 31)
Karakter mukmin yang sejati—sebagaimana
disebutkan dalam ayat di bawah ini—dicontohkan dengan sangat baik oleh para
nabi untuk mengingatkan manusia,
“Orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang
menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur.”
(Ali Imran [3]: 17)
Al-Qur`an berisi banyak
ayat yang menekankan fakta bahwa para nabi adalah orang yang berpaling kepada
Allah dengan pengabdian yang tulus. Mereka adalah hamba-hamba-Nya yang suci.
Beberapa contohnya adalah sebagai berikut.
“Sesungguhnya, Ibrahim adalah seorang imam yang dapat
dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah
dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan).” (an-Nahl [16]: 120)
“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq, Ya’qub yang
mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi.
Sesungguhnya, Kami telah menyucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada
mereka) akhlaq yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri
akhirat.” (Shaad [38]: 45-46)
“Sesungguhnya, Ibrahim itu benar-benar seorang yang
penyantun lagi penghiba dan suka kembali kepada Allah.” (Hud [11]: 75)
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka), kisah Musa
di dalam Al-Kitab (Al-Qur`an) ini. Sesungguhnya, ia adalah seorang yang dipilih
dan seorang rasul dan nabi.” (Maryam [19]: 51)
“Dan (ingatlah) Maryam putri Imran yang memelihara
kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan)
Kami; dan dia membenarkan kalimat Tuhannya dan kitab-kitab-Nya; dan adalah dia
termasuk orang-orang yang taat.” (at-Tahrim [66]: 12)
Percaya kepada Allah
dengan Menunjukkan Pengabdian yang Tinggi
Orang-orang yang
beriman yang mencapai tingkat kesucian yang didefinisikan dalam Al-Qur`an,
yakin kepada Allah “dengan menunjukkan rasa khidmat yang mendalam”. Ini berarti
mereka mengerti akan kebesaran dan kekuatan Allah. Karenanya, ia merasakan
cinta yang mendalam, pengabdian yang murni, dan rasa takut, dengan tidak pernah
meninggalkan kesempatan untuk mendapatkan
keridhaan-Nya demi keuntungan duniawi. Keikhlasan adalah mengetahui bahwa tidak
ada keuntungan duniawi, kecil ataupun besar, yang dapat menjadi lebih penting
daripada mendapatkan ridha dan menjalankan perintah-Nya. Di dalam Al-Qur`an,
kualitas orang-orang yang benar itu dijelaskan sebagai berikut.
“... mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga
yang sedikit....” (Ali Imran [3]: 199)
Sebagaimana
didefinisikan di dalam Al-Qur`an, orang-orang yang benar tak pernah membuat
perhitungan dalam menjalankan perintah Allah dan larangan-Nya, tak peduli apa
pun kondisinya, sesuai dengan apa yang diminta ayat Al-Qur`an tersebut. Semua
rasa takut yang penuh khidmat dan pengabdian mendalam yang dirasakan jauh di
dalam hati seseorang, menjauhkan dirinya dari sikap dan perbuatan yang tidak
disukai oleh Allah, dan juga mendorong seseorang untuk lebih bersemangat untuk
menyerap keseluruhan moralitas yang diridhai oleh Allah. Di dalam Al-Qur`an,
rasa takut yang ditunjukkan oleh orang-orang beriman kepada Allah disebutkan
dalam ayat berikut.
“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah
perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut
kepada hisab yang buruk.” (ar-Ra’d [13]: 21)
Di dalam ayat
lainnya, orang-orang beriman disebutkan sebagai orang yang memiliki pengabdian
yang penuh khidmat kepada Allah dan semakin bertambah ketika mereka mendengar
ayat-ayat Allah,
“Katakanlah, ‘Berimanlah kamu kepada-Nya atau tidak usah
beriman (sama saja bagi Allah).’ Sesungguhnya, orang-orang yang diberi
pengetahuan sebelumnya apabila Al-Qur`an dibacakan kepada mereka, mereka
menyungkur atas muka mereka sambil bersujud. Dan mereka berkata, ‘Mahasuci
Tuhan kami; sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi.’ Dan mereka menyungkur
atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk.” (al-Israa`
[17]: 107-109)
Pengabdian penuh
khidmat telah dideskripsikan di dalam Al-Qur`an sebagai sebuah contoh bagi
orang-orang beriman,
“... Sesungguhnya, mereka adalah orang-orang yang selalu
bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo’a
kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk
kepada Kami.” (al-Anbiyaa` [21]: 90)
Hal lain yang
disebutkan dalam ayat yang sama adalah bahwa orang-orang beriman yang ikhlas
itu berlomba-lomba dalam mengerjakan amal baik untuk mendapatkan keridhaan
Allah. Orang-orang ini berjuang terus-menerus—hingga batas kekuatan dan yang
mereka miliki—agar berhasil mendapatkan keridhaan, rahmat, kasih sayang, dan
surga Allah.
Patuh Mengabdi kepada Allah
Allah menggarisbawahi pentingnya kualitas
ketundukan bagi orang beriman,
“Katakanlah (hai orang-orang mukmin), ‘Kami beriman kepada
Allah dan apa yang diturunkannya kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada
Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub, dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada
Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami
tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh
kepada-Nya.’” (al-Baqarah [2]: 136)
Keikhlasan sejati membutuhkan ketundukan
dengan penyerahan total kepada Allah. Akan tetapi, ketundukan ini haruslah
tidak bersyarat. Seseorang yang ridha kepada ketentuan Allah, tetapi hanya
bersyukur dan berserah diri kepada Allah dalam kondisi tertentu saja, tidak
dapat dikatakan berserah diri jika ia menjadi pemberontak dan tidak patuh saat
kondisinya berubah. Sebagai contoh, orang yang memiliki hubungan bisnis yang
baik dan mendapatkan sejumlah uang. Ia sering kali mengatakan bahwa Allahlah
yang mengizinkan kondisi kekayaan dan keberuntungannya. Tetapi saat segalanya
memburuk, ia tiba-tiba berbalik dan melupakan kepatuhannya kepada Allah.
Sifatnya tiba-tiba berubah dan ia mulai mengeluh terus-menerus dan mengatakan
bahwa ia adalah orang yang baik, bahwa ia tidak seharusnya mendapat musibah,
dan ia tidak mengerti sama sekali mengapa segalanya terjadi demikian buruk. Ia
bahkan melewati batas dan mulai menyalahkan Allah dengan melupakan bahwa takdir
selalu berjalan sesuai dengan apa yang terbaik. Ia mungkin saja bertanya-tanya
pada dirinya akan pertanyaan yang tidak ada hubungannya, seperti: mengapa
segala sesuatunya berjalan seperti ini? mengapa semua ini terjadi pada saya?
Memercayai Allah tanpa mempedulikan apakah
yang terjadi pada diri kita itu baik atau buruk, atau apakah kejadian itu
tampaknya menolong atau menjatuhkan, adalah sangat bernilai di mata Allah.
Meskipun hanya dengan apa yang tampak dari luar, seseorang haruslah tunduk
dengan menyadari bahwa segala sesuatu diciptakan dengan kebaikan dan
kebijaksanaan.
“Jika kamu (pada Perang Uhud) mendapat luka, maka
sesungguhnya kaum (kafir) itu pun (pada Perang Badar) mendapat luka yang
serupa. Dan masa (kejadian dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara
manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan
orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu
dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang
yang zalim.” (Ali Imran [3]: 140)
Jadi, semua kesulitan dan masalah itu
terjadi sebagai cobaan untuk menentukan siapa yang tetap teguh dalam kesucian
diri dan ketundukan kepada Allah.
Mereka yang percaya dengan tulus ikhlas
tidak pernah meragukan kebaikan yang tak terbatas atas apa yang terjadi dan
selalu percaya kepada Allah dalam kepatuhan total. Mereka menyadari bahwa ini
adalah semata-mata ujian. Keimanan mereka tidaklah bersyarat. Keimanan yang
teguh dan kuatlah yang mengelilingi segala macam kesulitan yang dihadapi
seseorang. Mereka menyerahkan diri kepada Allah tanpa mencari balasan duniawi.
Di dalam Al-Qur`an, sikap yang telah ditetapkan atas mukmin sejati untuk
kepasrahan total kepada Allah ini telah ditekankan sebagai berikut.
“Ketika Tuhannya berfirman kepadanya, ‘Tunduk patuhlah!’
Ibrahim menjawab, ‘Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam.’” (al-Baqarah
[2]: 131)
Dalam ayat lainnya, Allah mengatakan bahwa
agama yang paling mulia adalah agama yang diserap oleh mereka yang menyerahkan
diri kepada Allah dan hanya percaya kepada-Nya. Allah menggarisbawahi
pentingnya kepatuhan yang tidak bersyarat ini,
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang
ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan,
dan dia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi
kesayangannya.” (an-Nisaa` [4]: 125)
Nabi saw. juga mengatakan hal yang sama,
“... Orang paling beruntung yang akan
memiliki syafaatku di hari perhitungan adalah orang-orang yang mengatakan, ‘Tak
ada sesuatu pun yang layak disembah selain Allah,’ tulus dari dalam hatinya.”[3]
Berpaling kepada Allah Tak Hanya di Saat Sulit,
tetapi dalam Setiap Detik Kehidupan
Selama hidupnya, sebagian orang telah
gagal merenungkan tentang Allah yang telah menciptakan mereka dan yang telah
mencurahkan keberkahan dunia kepada mereka. Sebagaimana segala sesuatu
terungkap dalam kehidupan, mereka cederung melupakan bahwa mereka sebenarnya
merupakan makhluk yang lemah dan membutuhkan kasih sayang Allah. Allah adalah
satu-satunya kekuatan yang dapat memastikan keberkahan-keberkahan itu dan
mengatur segalanya.
Akan tetapi, kenyataan bahwa mereka begitu
ceroboh bukanlah berdasar pada keingkaran mereka, melainkan lebih kepada
kenyataan bahwa mereka benar-benar tidak bersyukur dan sombong kepada Allah.
Bukti yang paling jelas adalah bahwa mereka selalu berpaling kepada Allah dan
segera memohon bantuan-Nya saat mereka menghadapi penderitaan atau kesulitan.
Mereka yang sebelumnya mengingkari Allah, tiba-tiba mulai beribadah kepada-Nya
dan menjadi hambanya yang beriman dan penuh pengabdian.
Allah berkata benar dalam ayat,
“Dan apabila manusia disentuh oleh suatu bahaya, mereka
menyeru Tuhannya dengan kembali bertobat kepada-Nya, kemudian apabila Tuhan
merasakan kepada mereka barang sedikit rahmat dari-Nya, tiba-tiba sebagian dari
mereka mempersekutukan Tuhannya, sehingga mereka mengingkari akan rahmat yang
telah Kami berikan kepada mereka. Maka bersenang-senanglah kamu sekalian kelak
kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu).” (ar-Ruum [30]: 33-34)
Sebagaimana disebutkan dalam ayat ini,
sesaat mereka membelakangi Allah bukan karena mereka tidak menyadari kekuasaan
Allah atau karena tidak mampu memahami bahwa mereka harus menyembah Allah,
tetapi karena mereka sombong. Mereka lupa bagaimana seharusnya mereka berlabuh
kepada Allah serta memohon pertolongan-Nya dengan tulus dan penuh harap. Mereka
kemudian segera kembali kepada keingkaran setelah Allah mencabut kesulitan
mereka. Dengan kata lain, mereka berbuat dengan tulus ikhlas hanya saat
menghadapi masalah, tetapi mereka tidak ikhlas ketika masalah itu dicabut oleh
Allah. Al-Qur`an memberikan contoh orang-orang yang demikian,
“Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di
daratan, (berlayar) di lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera,
dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan
tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai,
dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa
mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdo’a kepada Allah dengan
mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata), ‘Sesungguhnya,
jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk
orang-orang yang bersyukur.’ Maka setelah Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba
mereka membuat kezaliman di muka bumi tanpa (alasan) yang benar. Hai manusia,
sesungguhnya (bencana) kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri; (hasil
kezalimanmu) itu hanyalah kenikmatan hidup duniawi, kemudian kepada Kamilah
kembalimu, lalu kami kebarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Yunus
[10]: 22-23)
Sekali saja mereka dapat mengambil bentuk
tingkah laku yang lebih tulus jika mereka mau berjanji bahwa mereka akan
benar-benar menjadi mukmin sejati, Allah segera menolong mereka. Akan tetapi,
setelah mereka mendapatkan pertolongan Allah, mereka berpaling dari-Nya. Allah
menyatakan bahwa kedurhakaan ini akan menghancurkan mereka. Ia memberi
peringatan kepada mereka akan nasib yang akan mereka terima.
Orang-orang yang suci hatinya, mereka
berpaling kepada Allah dengan hati yang terbuka, tak ada perbedaan di dalam
sikap dan tingkah laku mereka, baik di waktu sulit maupun lapang. Hal ini
karena mereka menyadari sepenuhnya akan kekuatan absolut Allah. Mereka selalu
hidup dengan rasa takut dan mengabdi kepada Allah dengan pengabdian sepenuh
hati yang tak terbagi. Allah menyatakan bahwa di hari akhir nanti, tidaklah
sama balasannya antara orang-orang yang berbuat sesuatu dengan tulus hanya saat
mereka menghadapi kesulitan dan orang-orang menyucikan dirinya serta berjuang
sepanjang hidup mereka. Mukmin sejati akan dibalas dengan surga, sedangkan yang
lainnya akan dihukum dengan neraka. Ayat berikut terkait dengan hal ini.
“Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia memohon
(pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila Tuhan
memberikan nikmat-Nya kepadanya lupalah di akan kemudharatan yang pernah dia
berdo’a (kepada Allah) untuk (menghilangkannya) sebelum itu, dan dia
mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari
jalan-Nya. Katakanlah, “Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu sementara
waktu; sesungguhnya kamu termasuk penghuni neraka.’ (Apakah kamu, hai orang
musyrik, yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu
malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan
mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah, ‘Adakah sama orang-orang yang
mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya, orang yang
berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (az-Zumar [39]: 8-9)
Tidak Pernah Enggan dalam
Mengabdi dan Beribadah kepada Allah
Allah berfirman,
“Di antara manusia ada yang mengatakan, ‘Kami beriman kepada
Allah dan Hari kemudian,’ padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang
yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal
mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.” (al-Baqarah
[2]: 8-9)
Mereka adalah orang-orang yang memiliki
keingkaran di hati, meskipun mereka berada di antara mukmin sejati, beribadah
bersama mereka, serta menjalin hubungan dengan mereka. Salah satu ciri yang
membedakan mereka dari orang-orang beriman kepada Allah adalah bahwa mereka
enggan untuk mengabdi dan beribadah kepada-Nya. Orang-orang beriman adalah
laki-laki dan perempuan yang tulus melabuhkan keimanan yang mendalam kepada
Allah, yang berpaling kepada-Nya dengan tulus, dan yang menyembah-Nya dengan
cinta dan kepatuhan. Dalam ayat lain, Allah menggambarkan balasan yang menanti
di hari akhir atas sikap tersebut dan Dia menghadirkan para malaikat sebagai
contoh bagi manusia,
“Almasih sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah,
dan tidak (pula enggan) malaikat-malaikat yang terdekat (kepada Allah).
Barangsiapa yang enggan dari menyembah-Nya dan menyombongkan diri, nanti Allah
akan mengumpulkan mereka semua kepada-Nya.” (an-Nisaa` [4]: 172)
Sebagaimana disebutkan di dalam ayat ini,
salah satu ciri keikhlasan dan kebajikan adalah dengan tidak pernah merasa
enggan dalam mengabdi dan beribadah kepada Allah. Orang-orang beriman selalu
ingin beribadah kepada Allah dalam situasi apa pun. Karena itulah, mereka tidak
pernah kehilangan semangat, sekalipun mereka dipaksa untuk mengorbankan hidup
dan kekayaan mereka atau menghadapi kesulitan dan kedukaan.
Nabi Muhammad saw. mengingatkan
orang-orang beriman akan pentingnya keteguhan dalam menyembah Allah, “Kerjakanlah
kebaikan dengan benar, tulus, dan utuh. Dan sembahlah Allah di waktu siang dan
malam, dan selalu mengambil jalan pertengahan untuk mencapai tujuanmu (surga).”[4]
Al-Qur`an memberikan banyak contoh tentang
akhlaq mulia, yang mengungkapkan usaha-usaha yang dilakukan oleh orang-orang
beriman ini. Sebagai contoh, ada orang-orang yang berulang-ulang meminta Nabi
saw. agar mereka dapat ikut serta berperang, tetapi akhirnya mereka tidak dapat
ikut serta. Disebutkan juga tentang mereka yang kembali setelah gagal menemukan
apa pun untuk dibelanjakan. Meski orang-orang ini pasti menyadari bahwa mereka
akan menghadapi banyak kerugian dalam perang: risiko terbunuh, terluka, dan
menderita, mereka tetap ingin ikut serta semata-mata karena keimanan yang tulus
serta kesucian diri mereka. Al-Qur`an mengabadikan orang-orang seperti ini
dalam ayat,
“Dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka
datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata, ‘Aku
tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu,’ lalu mereka kembali, sedang mata
mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh
apa yang akan mereka nafkahkan.” (at-Taubah [9]: 92)
Al-Qur`an juga mengabarkan contoh-contoh
mereka yang berada dalam situasi yang sama, tetapi segan melayani dan mengabdi
kepada Allah, agar orang-orang beriman menyadari perbedaan antara dua macam
orang. Ayat berikut ini menyatakan,
“Sesungguhnya, jalan (untuk menyalahkan) hanyalah terhadap
orang-orang yang meminta izin kepadamu, padahal mereka itu orang-orang yang
kaya. Mereka rela berada bersama-sama orang-orang yang tidak ikut berperang dan
Allah telah mengunci mata hati mereka, maka mereka tidak mengetahui (akibat
perbuatan mereka). Mereka (orang-orang munafik) mengemukakan uzurnya kepadamu
dengan nama Allah, apabila kamu telah kembali kepada mereka (dari medan
perang). Katakanlah, ‘Janganlah kamu mengemukakan uzur; kami tidak percaya lagi
kepadamu, (karena) sesungguhnya Allah telah memberitahukan kepada kami di
antara perkabaran-perkabaran (rahasia-rahasia)mu. Dan Allah serta Rasul-Nya
akan melihat pekerjaanmu, kemudian kamu dikembalikan kepada Yang Mengetahui
yang gaib dan yang nyata, lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan.’” (at-Taubah [9]: 93-94)
Kebalikan dari mukmin yang sejati, mereka
adalah orang yang menyatakan dengan lidah mereka bahwa mereka menyembah Allah
dan bahwa mereka mematuhi Nabi saw., tetapi mereka meminta untuk tidak
dilibatkan dalam peperangan walaupun mereka berkecukupan dari segi harta dan
kekayaan. Mereka yang menolak untuk ikut serta dalam peperangan saat kaum
muslimin menghadapi kesulitan yang besar, menunjukkan keberanian yang memalukan
di hadapan Allah. Kondisi yang sama juga dapat terjadi pada kasus yang lainnya.
Haruslah diingat bahwa di dalam ayat-ayat Al-Qur`an, Tuhan kita menunjukkan
bahwa hati orang-orang yang lebih memilih untuk menyimpan harta mereka daripada
melakukan sesuatu yang dapat membawa mereka kepada keridhaan Allah dan menolong
serta menyokong saudara mereka seislam, sudah terkunci.
Keikhlasan Perlu Dimurnikan
Salah satu ciri yang paling penting yang
ada pada diri mukmin yang sejati dan ikhlas adalah bahwa ia dengan tulus ingin
dan berusaha untuk menyucikan dirinya dari segala jenis tingkah laku dan akhlaq
yang dilarang oleh Al-Qur`an demi memperoleh keridhaan Allah. Manusia
diciptakan cenderung untuk berbuat salah, namun Allah menyatakan dalam ayat
terpisah bahwa Dia telah melengkapi jiwa manusia tidak hanya terbatas dengan
dosa dan kejahatan, tetapi juga dengan cara-cara untuk menghindarinya.
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya, sesungguhnya
beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang
yang mengotorinya.” (asy-Syams [91]: 7-10)
Dengan rasa takut kepada Allah, setiap
mukmin sejati ingin selalu menyucikan diri dari sisi jahat jiwanya. Ia berusaha
untuk mendapatkan keagungan ahklaq sebagaimana yang dijelaskan di dalam
Al-Qur`an, dengan menggunakan kesadaran dan kecerdasannya dengan
sebenar-benarnya. Usaha serius apa pun yang dilakukan oleh seseorang yang tulus
hati menginginkan kesucian diri, adalah tanda keimanan sejati dan kesuciannya.
Hanya orang yang memiliki keimanan yang mutlak
pada Allah dan hari akhirlah yang akan berusaha menghilangkan sisi jahat
jiwanya. Sebaliknya, orang yang tidak benar-benar percaya kepada Allah dan hari
akhir akan menafikan adanya sisi jahat dalam jiwanya dan berusaha menutupinya
dari orang lain. Ia berharap tak akan ada yang mengetahui perbuatan jahatnya.
Akan tetapi, Allahlah yang paling tahu lahir dan batin setiap orang. Allah
paling tahu rahasia yang paling rahasia. Pada hari pembalasan, semua perbuatan
yang dilakukan oleh setiap manusia akan terungkap. Mukmin yang ikhlas yang
menyadari hal ini akan ditolong oleh usaha mereka melawan hawa nafsu. Di dalam
Al-Qur`an, gambaran usaha mereka dipaparkan sebagai berikut.
“Janganlah kamu bersembahyang dalam masjid itu
selama-lamanya. Sesungguhnya, masjid yang didirikan atas dasar taqwa (masjid
Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu bersembahyang di dalamnya. Di
dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai
orang-orang yang bersih.” (at-Taubah [9]: 108)
Berusaha
Bersama-sama dan Melakukan
Perbuatan
Baik Terus-menerus
Di dalam ayat berikut, Allah menyatakan
bahwa perbuatan baik yang dilakukan terus-menerus adalah lebih baik ganjarannya
di sisi Allah.
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia,
tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi
Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (al-Kahfi [18]: 46)
Perbuatan tersebut juga merupakan tanda
keikhlasan dan kesucian seseorang. Sebagian orang dapat melakukan perbuatan
baik, tetapi bukan karena mereka takut kepada Allah, melainkan ingin
mendapatkan kehormatan dan pujian di mata manusia. Sebagai contoh, seseorang
yang mengirimkan barang-barang dan pakaiannya untuk orang-orang yang kehilangan
tempat tinggal karena gempa bumi. Ia mungkin saja membantu tetangganya, atau
bersikap baik, sayang, dan baik budi. Ia mungkin juga ramah, lembut, dan
memahami karyawannya. Ia mungkin hormat dan penuh toleransi kepada orang yang
lebih tua. Jika perlu, ia bisa saja mengorbankan dirinya, ikut serta dalam
kegiatan kemanusiaan. Semua itu adalah perbuatan yang baik. Bagaimanapun juga,
apa yang benar-benar penting adalah keteguhan dan kesabaran yang ditunjukkan
saat melakukan perbuatan tersebut. Sepanjang hidupnya, setiap muslim yang telah
menyucikan dirinya harus membantu siapa pun yang membutuhkan, tanpa
memperhatikan pendapat orang lain tentang dirinya. Usaha-usaha yang dilakukan
hanya untuk mendapatkan keridhaan Allah ini juga dilaksanakan untuk membuktikan
tingkat keikhlasan mereka. Bagaimanapun juga, jika orang tersebut gagal membawa
dirinya kepada ajaran moral yang disebutkan di atas dan untuk bersikap dalam
sikap pengabdian dan pengorbanan diri yang sama, kesucian yang akan didapatnya
saat melakukan perbuatan lain akan mudah hilang.
Demikian pula, ada sebagian orang dalam
masyarakat jahil yang mampu melakukan perbuatan baik, bahkan meski mereka tidak
percaya kepada Allah. Akan tetapi, mereka melakukan perbuatan tersebut bukan
karena rasa takut mereka kepada Allah atau dalam harapan mereka akan hari
akhirat. Mereka bertujuan untuk mendapatkan balasan dan keuntungan dunia, besar
maupun kecil. Sebagai contoh, mereka mungkin membantu korban gempa bumi hanya
untuk membuang barang-barang mereka yang sudah tak terpakai. Begitu pula, rasa
hormat yang ditunjukkan terhadap orang yang lebih tua mungkin hanya semata-mata
karena pengaruh tradisi budaya. Demikian pula, ia mungkin saja memperlakukan
karyawannya begitu ramah hanya untuk membuat mereka lebih giat bekerja dan
menghasilkan pendapatan yang lebih. Ia mungkin memberikan bantuannya untuk
menolong organisasi kemanusiaan untuk mendapatkan kehormatan dan harga diri
dalam masyarakat. Untuk dapat memastikan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut
dilakukan karena rasa takutnya kepada Allah dan ajaran akhlaq mulia yang
diperintahkan Allah, orang tersebut harus menggunakan upaya yang sama dalam
setiap detik kehidupannya dan terus-menerus bersikap sesuai dengan prinsip
Al-Qur`an. Pentingnya berpaling kepada Allah setiap pagi dan petang, terus-menerus
setiap hari, ditekankan dalam ayat,
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang
menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharapkan keridhaan-Nya; dan
janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan
kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami
lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah
keadaannya itu melewati batas.” (al-Kahfi [18]: 28)
Jika seseorang dengan tulus meyakini
keberadaan Allah dan hari akhir, ia tidak akan berbuat sebaliknya. Karena itu,
ia tahu pasti bahwa ia bertanggung jawab akan setiap detik kehidupannya di
dunia dan ia layak mendapatkan kehidupan yang abadi di surga-Nya hanya jika ia
menjalani kehidupan dengan mengikuti keridhaan Allah. Ia bersegera melakukan
perbuatan baik untuk mendapatkan ridha Allah dalam setiap perbuatan, perkataan,
dan sikapnya. Dengan bertanya pada diri sendiri, “Apa yang dapat saya
lakukan?”, “Bagaimana seharusnya saya bersikap agar Allah ridha dan sayang?’,
“Sikap apa yang harus saya perbaiki agar tingkah laku saya lebih baik?”, dan ia
berusaha dengan sungguh-sungguh. Demikian pula disebutkan di dalam Al-Qur`an
bahwa tingkah laku mereka yang berusaha, sebagaimana mereka seharusnya
berusaha, diberi ganjaran yang besar. Dinyatakan dalam ayat,
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka
Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang
Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka Jahannam; ia akan memasukinya
dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan
akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah
mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.”
(al-Israa` [17]: 18-19)
Mengabdi dan Terus Berusaha
Menjadi Orang yang Benar
Allah menekankan dalam ayat-ayat Al-Qur`an
bahwa akhlaq Ilahiyah harus diaplikasikan ke dalam setiap bagian hidup seorang
mukmin sejati. Seseorang harus hidup sebagai orang mukmin, berbicara dan
berpikir sebagai seorang muslim. Sejak saat ia membuka matanya di pagi hari
hingga saat ia tidur di malam hari. Ia harus berusaha menuju kesucian, berniat
untuk selalu berlaku ikhlas dan jujur kepada Allah, dan selalu menggunakan
kesadaran dan kemauannya dengan sebaik-baiknya hingga akhir nanti.
Sebagian orang berusaha untuk membatasi
agama pada ritual-ritual tertentu. Mereka yakin bahwa kehidupan spiritual
mereka harus dipisahkan dari kehidupan dunia. Entah bagaimana, mereka melihat
ide tersebut logis dan masuk akal. Mereka mengingat Allah dan hari akhir hanya
saat mereka melakukan shalat, puasa, bersedekah, atau ketika melakukan haji. Di
lain waktu, mereka terbawa pada kerumitan urusan dunia. Mereka melupakan Allah
dan balasan yang akan diterimanya di hari pembalasan. Mereka tidak peduli pada
usaha untuk menggapai ridha Allah dan gagal berjuang hingga akhirnya.
Mereka tidak menyadari bahwa mereka juga
diharapkan untuk berpikir agamis pada saat berjalan, makan, bekerja di kantor,
berolah raga, berbicara dengan orang lain, melakukan transaksi, menonton
televisi, berbicara tentang politik, mendengarkan musik, dan sebagainya. Saat
mereka mengira bahwa hal-hal tersebut hanyalah masalah duniawi, mereka
cenderung percaya bahwa rencana-rencana mereka pun seharusnya bersifat
keduniawian. Akan tetapi, seseorang dapat menyempurnakan akhlaq sesuai dengan
Al-Qur`an dan mendapat keikhlasan saat berhubungan dengan hal-hal tersebut di
atas. Ia dapat menunjukkan perhatian dalam tugas-tugasnya dan penuh perhatian
saat berbicara dengan orang lain, makan, berolah raga, bersekolah, bekerja,
tengah membersihkan sesuatu, menonton TV, atau mendengarkan musik. Ia harus
berusaha mendapatkan berkah Allah saat melakukan semua aktivitas tersebut.
Semua tingkah laku yang menjadikan Allah
ridha dijelaskan secara rinci dalam banyak ayat Al-Qur`an. Banyak rincian
tentang bagaimana berbuat adil dalam jual beli, tidak mengambil harta yang
tidak halal, memberikan takaran dan timbangan yang tepat, dan sebagainya, telah
dijelaskan di dalam Al-Qur`an. Ketika seseorang hidup dengan rasa takut kepada
Allah dan melakukan perbuatan sesuai dengan ayat-ayat tersebut, ia melakukan
jual beli untuk memenuhi keridhaan dan keikhlasan kepada Allah. Demikian pula,
menahan diri dari perkataan kotor, tidak tinggal diam ketika orang lain
menghina Al-Qur`an, dan berbicara dengan jujur dan bijaksana, semua itu adalah
bagian dari akhlaq agung yang disebutkan di dalam Al-Qur`an. Karena itulah,
seharusnya tidak ada seorang pun yang salah mengartikan bahwa agama hanyalah
terdiri atas ritual-ritual agama dan bahwa keikhlasan hanya bisa didapatkan
dengan melakukan ritual-ritual tersebut. Karena rumitnya kehidupan duniawi
kita, manusia bertanggung jawab untuk terlibat dalam berbagai hal. Yang penting
adalah bahwa seseorang harus selalu menempatkan Allah di dalam hatinya. Ia
harus mencari keridhaan Allah di dalam setiap perbuatannya, tidak mengorbankan
ajaran moral Al-Qur`an, serta menjaga kesuciannya.
Pandai
Menguasai Diri, Ikhlas, dan Dapat Dipercaya
Seseorang yang secara konsisten berbuat
ikhlas akan terlihat bersifat baik dan bersungguh-sungguh. Mereka yang hanya
ingin mendapatkan keridhaan Allah dan tidak mencari balasan duniawi, tidak akan
pernah menjadi orang yang palsu, penuh tipu daya, tidak ikhlas, dan tidak
wajar. Ia bersikap baik, demikian pula perbuatan dan ucapannya. Hal ini karena
ia tidak akan berusaha memengaruhi orang lain atau terlalu ambisius. Ia akan
cepat disukai dan membuat orang lain merasa nyaman dengannya. Karena ia hanya
ingin mendapatkan keridhaan Allah, ia menyadari sepenuhnya bahwa sifat-sifat
menipu yang dilakukan untuk mendapatkan pengaruh pada orang lain akan merusak
ketulusan hatinya. Ia akan merasa nyaman dan damai karena mengetahui bahwa
Allah adalah satu-satunya teman baik dan satu-satunya pelindung.
Seseorang yang dengan teguh menjaga
kesucian dan ketulusannya, berharap agar Allah akan menerima setiap
perbuatannya sebagai orang yang saleh dan membalasnya dengan imbalan yang
berlimpah, baik di dunia maupun di akhirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar